04 April 2018

Lelaki dan Tangkai Sapu - IX (Iyut Fitra)



dan ia. lelaki yang terus mencari kata-kata
singgah di lepau itu
bermula di rimbun daun. jemur di tungku dan disangai
di pondok bambu. tempurung-tempurung telah menunggu
gula saka, sarikaya, ketan dan goreng pisang. seduhlah!
ini kawa daun yang akan menghanyutkan meski tanpa pantun
kendati tak searoma arabika, robusta atau kopi toraja
kendati cita dan rasa hanya tumbuh dari palanta ke palanta
ada ikhwal tak mudah lenyap

dan ia. lelaki yang tersandar di lepau itu
sejarah menghantamnya di seduhan ketiga. konon, 1840
gudang-gudang berdiri angkuh
kopi-kopi diangkut dan peladang menghangatkan tubuh entah ke mana
ini kawa daun. rasa kelatnya serasa kisah dari derita
aroma lembabnya seperti letih tubuh yang terpaksa
orang-orang merambah ladang. orang-orang takut untuk mengerang
hanya bergelimun di tungku-tungku
menikmati sisa sebelum berubah abu

dan ia. lelaki yang kemudian membenci sejarah
ke mana kenangan harus dipanggul
ini kawa daun. seduhlah!
barangkali ada riwayat duka di dalamnya


***

Buku puisi “Lelaki dan Tangkai Sapu” (Kabarita, Cet.I, Juli, 2017) karya Iyut Fitra ini—secara keseluruhan—menggambarkan rangkuman bagaimana seorang pemuda Minang menjalani kehidupannya. Sejak kecil, ia tidur di surau dan meninggalkan rumah untuk selanjutnya merantau. Rumah gadang dimiliki oleh keturunan garis perempuan karena pewarisannya berdasarkan matrilineal.

Yang dialami Iyut Fitra juga begitu. Saya menemukan liputan tentang rumah gadang ini di National Geographic Traveler (lupa tahun berapa; majalah masih ‘ketelisut’ dan tidak saya temukan hingga artikel ini diterbitkan ). Namun, ada fragmen-fragmen lain hidup yang juga dibahas dalam buku ini. Khusus untuk puisi nomor yang IX ini (judul puisi menggunakan penomoran), Iyut berkisah tentang tradisi minum kawa daun orang Sumatra (Barat) yang kalau ditelisik lebih jauh, ia tidak hanya menggambarkan sebuah tradisi minum daun kopi semata, melainkan soal penjajahan dan perampasan hak.

Sebelum masuk ke puisi (masih dengan cara “tafsir puisi manasuka”), ada baiknya saya kasih pengantar sedikit seputar kopi, daun kopi, dan kolonialisme.

Yang memperkenalkan kopi sebagai minuman dari biji kopi itu memang Belanda. Akan tetapi, pernyataan bahwa Belandalah yang memperkenalkannya ke masyarakat Indonesia terbantahkan oleh ditemukannya pohon-pohon kopi di Aceh, jauh sebelum mereka datang. Di Aceh, dulunya, daun kopi digunakan sebagai minuman. Mereka “cuma” merebus daunnya sebab tidak tahu kalau ternyata yang inti dan mahal dari kopi itu adalah bijinya.

Menurut Lia Zen, pandangan ini sengaja diciptakan oleh kolonial agar masyarakat tidak mengkonsumsi biji kopi, melainkan cukup daunnya saja. Banyak ujaran yang tercipta seputar ini, di antaranya adalah “kalau minum biji kopi merah, nanti mata bakal merah”. Ujaran seperti ini beredar di masyarakat luas karena memang diproyeksikan. Kenyataannya, kafein tertinggi pada kopi itu justru terletak pada daun. Sebaliknya, adapun kualitas kopi yang terbaik justru ada pada biji merahnya. “Kenyataan ini berlangsung lama, bertahun-tahun, sampai-sampai nenek saya (yang artinya baru saja berlalu—red) yang memiliki kebun kopi pun tidak pernah mau minum kopi yang berasal dari biji kopi,” tambah Lia. Sungguh suatu penjajahan luar-dalam!

Memang, saat ini, ada temuan baru: cascara, yaitu teh yang berasal dari kulit biji kopi (arabica). Tentu saja, meskipun sama-sama berasal dari kopi, minum cascara berbeda dengan minum “kawa daun” ini. Jika cascara menyiratkan tren, sebaliknya, kawa daun membawa amanat penderitaan dan penjajahan.

Mari kita mulai...

LELAKI DAN TANGKAI SAPU – IX

dan ia (adalah setiap lelaki Minangkabau; aku-publik; dalam hal ini menunjuk kepada dirinya sendiri [penyair] yang menyatakan diri sebagai sebuah representasi. Dia adalah). lelaki yang terus mencari kata-kata (untuk dapat disusun dan ditata, guna menyampaikan sesuatu yang menurutnya penting untuk diketahui oleh khalayak, baik oleh yang sebangsa maupun siapa pun)
singgah di lepau itu (warung kecil)

Pada baris berikut, penyair mulai menegaskan tema puisi, tentang "kawa daun", yaitu daun kopi yang digunakan sebagai minuman. Kawa, kemungkinan besar, berasal dari 'kahwa'/'qahwa' yang artinya kopi [sebagai minuman, sedangkan kopi sebagai biji, dalam Bahasa Arab, disebut “bunn”]. Kata kawa juga dikenal di masyarakat Takengon, di Gayo. Di sana, masyarakat petani kopi memiliki tradisi mengawinkan kopi. Mereka berdoa di dalam prosesi. Doanya seperti ini: “Bismillahirrahmanirrahim, hai Siti Kawa, kao kukawinkan urung kuyu, wihkih walimu, tanoh kin saksi muhrimmu, mata uroe kin saksi pernikahanmu, kao kawinkan urung kuyu sebagai suamimu” (Bismillahirrohmaanirrohiim, hai Siti Kawa (kopi), kau kukawinkan dengan angin, air sebagai walimu, tanah sebagai saksi muhrimmu, matahari sebagai saksi pernikahanmu. Kau kukawinkan dengan angin sebagai suamimu).

bermula di rimbun daun. jemur di tungku dan disangai
di pondok bambu (bagian ini menjelaskan proses awal pembuatan kawa daun: dijemur dan dikeringkan melalui bara api yang biasanya dilakukan di tempat yang terlindung dari angin, seperti pondok bambu). tempurung-tempurung telah menunggu (kawa daun memang tidak diminum dari gelas, melainkan dari tempurung atau batok kelapa)
gula saka, sarikaya, ketan dan goreng pisang (tiga nama ini adalah identik penganan atau cemilan. Gula saka adalah gula tebu dalam bahasa Minangkabau; sarikaya adalah serikaya, yaitu makanan yang mengandung intisari santan dan telur) dan seduhlah!
ini kawa daun yang akan menghanyutkan meski tanpa pantun (yang dimaksud “menghanyutkan” adalah memberikan sensasi dan pelepasan katup kebahagiaan, meskipun tanpa harus bertukar pantun sebagaimana tradisi mereka)
kendati tak searoma arabika, robusta atau kopi toraja (kata hubung “kendati” menyiratkan 'kerendahdirian' [inferioritas], bahwa kawa daun adalah kelas kedua jika kopi adalah kelas pertamanya. Penyair tidak memandang ini sebagai dua jenis dan dua mahia, melainkan dua hal yang nyaris serupa sehingga dianggap sama, padahal mestinya kawa daun adalah minuman tersendiri yang khas dan unik, bukan semacam “kopi yang tertunda” atau “minuman pengganti kopi”. Pandangan inferior seperti ini mungkin tercipta oleh sejarah panjang kolonialisme dan upaya 'pembodohan' yang dilakukan penjajah terhadap masyarakat untuk selanjutnya menjadi alam pikir orang banyak. Adapun robusta, arabica, dan toraja adalah pembanding, meskipun tidak setara. Sebab, robusta dan arabica itu varietas, sedangkan Toraja adalah identitas kewilayahan. Sebagai tambahan informasi, kawa daun umumnya berasal dari jenis robusta sementata Toraja terkenal dengan kopi arabica).

kendati cita dan rasa hanya tumbuh dari palanta ke palanta (tempat bersantai, disebut "blandongan" oleh orang pesisir Gresik; semacam tempat cangkruk)
ada ikhwal tak mudah lenyap

dan ia. lelaki yang tersandar di lepau itu (sama seperti di atas)
sejarah menghantamnya di seduhan ketiga ("seduhan ketiga" tampak seperti variasi ungkapan, tidak memiliki kecenderungan tertenu. Namun, sebetulnya, orang Minang memiliki acuan khusus terhadap angka ini [contoh: "tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin"] sebagaimana orang Aceh yang menyukai angka "tujuh"). konon, 1840
gudang-gudang berdiri angkuh (tahun tersebut menandai dimulainya 'cultuurstelsel', saat mana masyarakat harus menanam kopi tapi tidak dapat memimum kopinya.

Sejujurnya, saat ini, kondisi masyarakat kita mirip-mirip dengan zaman itu. Kopi-kopi terbaik dari Nusantara, dari Toraja sampai Bajawa, dari Ijen sampai Takengon, dikirim ke luar negeri. Contoh: kopi terbaik Gayo dikirim ke Atlanta, kita dapat yang buruk-buruknya. Bahkan, seperti kopi yang unik karena tumbuh di lingkungan gunung belerang yang menyemburkan api biru [“blue fire - blue mountain”] yang konon hanya ada dua di dunia [di Bondowoso, Indonesia dan Islandia] bahkan banyak warga setempat pun tidak tahu-menahu soal ini, apalagi sampai menyicipinya.

kopi-kopi diangkut dan peladang menghangatkan tubuh entah ke mana (kopinya dibawa ke luar negeri oleh Kompeni, sementara peladang-petaninya sendiri tidak mendapatkan kehangatan kopinya)
ini kawa daun. rasa kelatnya serasa kisah dari derita (penyair menunjukkan lalu membandingkan kawa daun—yang rasanya memang sedikit sepat, seperti teh yang sangat kental dan sedikit gula—dengan penderitaan yang dialaminya, dialami oleh bangsanya atau oleh sekelompok kecil bangsa, tepatnya orang-orang Minang di zaman dulu)
aroma lembabnya seperti letih tubuh yang terpaksa (penyair membayangkan aroma kawa daun itu ibarat keletihan para petaninya, yaitu keringat yang tersisa selepas)
orang-orang merambah ladang. (akan tetapi) orang-orang takut untuk mengerang (karena mereka hanya berani mengeluh. Mereka tak berani berbuat apa pun. Mereka)
hanya bergelimun di tungku-tungku (yaitu di saat mereka mengeringkan daun-daun kawa itu. Mereka hanya)
menikmati sisa (daun yang dikeringkan itu; atau menikmati kejayaan kopi); sebelum berubah abu (mereka tidak mendapatkan apa pun lagi, baiknya kawa-nya, lebih-lebih biji kopinya, maupun keuntungan dan laba).

dan ia. lelaki yang kemudian membenci sejarah (tentu saja, yang dimaksud "membenci sejarah" bukanlah membenci sejarah sebagai disiplin ilmu, melainkan beban yang terkandung di dalam sejarah, yakni data-data dan catatan kesedihan yang dialami oleh nenek-moyang penyair, khususnya di Sumatra Barat, akibat "tanam paksa" oleh Belanda. Penafsiran ini merujuk pada pernyataan penyair pada bait kedua di atas. Inilah yang telah membuatnya sedih, juga bingung, sehingga secara retoris ia bertanya):
ke mana kenangan harus dipanggul (maka, "kenangan" yang dimaksud adalah sejarah itu sendiri, yang dibencinya karena telah mengusik banyak hal daripada memori kejayaan (bangsa)-nya di masa dulu. Sebab itu, sang penyair  ingin melupakan semuanya meskipun sejenak, dengan cara menghirup kawa daun: melupakan sembari merasakan, betapa penderitaan bangsa itu sungguh-sungguh menyakitkan!)
Ini kawa daun. seduhlah!
barangkali ada riwayat duka di dalamnya.

Akhir kata, penyair mengajak berempati kepada kita (para pembaca) agar dapat merasakan kekesatan kawa daun dan kegetiran nasib masyarakat di masa kulturstelsel atau tanam paksa (kopi) di zaman dulu. Maka, ada baiknya kita juga mencoba minum kawa daun ini di sebuah lepau, tidak melulu menikmati kopi di kafe, lebih-lebih di kafe milik orang manca yang sebagian besar bahan kopinya justru didatangkan dari biji-biji kopi pilihan di Pulau Sumatra.


Wallahu a’lam
© M. Faizi


Rinal, saya, Iyut Fitra: minum kawa daun di Payakumbuh (foto: Akhyar Fuadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar