09 April 2018

Cinta yang Bertaring (Nuryana Asmaudi)


Sajak Rahwana untuk Sita

sesaat sangat berarti bagi hidup
tapi kau sia-siakan kesempatan itu
aku gerimis dan kau daun talas
memberiku singgah sejenak
lalu terik menghapus
dan kau kehilangan

badan kasar boleh meniada
tapi badan halus tak kan ke mana
segara geni mensucikanmu
karena cintaku, Sita

kujaga bara tetap menyala
tak kan padam api cinta
sebab cintaku lebih tua daripada Rama
sampai asal memanggil
sukma kita bercengkerama

di akuarium jadi mempelai lohan
pengantin emas yang romantis
atau sepasang angsa di telaga
bening lagi sejuk

Denpasar, 2010

Pengakuan Sita

aku tak minggat karena khianat
aku tirakat mencari hakikat
dalam terpaan angin barat
di samudera Rahwana
aku mendengar nyanyian jiwa
pada pusaran arusnya aku merasa fana

aku bukan ikan panggang di api alengka
unggun dalam gigil, obor di malam pekat
berjagalah di rumah, Kakanda
tak jemu kugenggam cintamu
di ruang kalbu

kesucian milik tuhan
kita bukan sekadar wayang
yang dijogetkan dalang
dalang mbeling boleh
mempelesetkan cerita sesukaanya
namun cinta kita tak sedetik pun
bertepuk sebelah tangan
meski aku di pengasingan
koran memberitakan
televisi mempertontonkan
medsos meramaikan isu
cinta kita gonjang-ganjing
dan engkau berkomentar miring
mengapa tak percaya padaku
mengapa terpancing murung-miring?
teleponlah Wibisana
tanyakan kepada adik Rahwana yang jujur itu
aku baik-baik saja dan kerasan di puri alengka
tak ada yang perlu dikhawatirkan
tak usah mengerahkan kapal perang
tank dan pesawat tempur rongsokan
janganlah menghamburkan uang negara
untuk urusan cinta dan keluarga

pada saatnya nanti
aku akan pulang sendiri
percayalah aku mencintaimu sepenuh hati
cintaku lebih panjang daripada nafas hari-hari

Denpasar, 2010

Jika kita membaca kisah Ramayana, terutama pada bagian penculikan Dewi Sinta di hutan Dandaka untuk kemudian dilarikan ke Alengka Dirja, maka fragmen tersebut adalah hipogram dan puisi ini menjadi teks turunannya. Penyair membawa cerita Rama dan Sinta ke alam kekinian, yang salah satunya berupa gonjang-ganjing di medsos. Kritik tajam disampaikan secara samar lewat balas-balasan puisi, curhat-curhatan.


Dalam legenda Melayu, kasus seperti ini juga dapat ditemukan. Ketika semua orang menokohkan Hang Tuah, dramawan Dinsman justru menokohkan Hang Jebat. Ia menjadi pembela rakyat, bahkan sampai-sampai membunuh raja. Rupanya, penyair Nuryana Asmaudi, seperti Dinsman, menggunakan sudut pandang yang lain dalam memandang legenda Ramayana, terutama dalam melihat posisi cinta Rahwana.


Di atas itu semua, tentu saja, yang saya lakukan ini hanyalah #tafsirpuisimanasuka atas dua puisi ("Sajak Rahwana untuk Sita" dan "Pengakuan Sita") yang dicuplik dari buku Taman Perangkap Bulan (2018). Yang saya lakukan adalah usaha membuat puisi lebih dekat ke pembaca. Mari kita lihat bagaimana imajinasi Nuryana dalam memainkan dua tokoh ini dalam puisinya.


SAJAK CINTA RAHWANA KEPADA SITA


sesaat sangat berarti bagi hidup
tapi kau sia-siakan kesempatan itu (seperti kata pepatah, kesempatan tidak datang dua kali. Kira-kira demikian yang dikeluhkan oleh Rahwana kepada Sita [Sinta]. Kalaupun ada kesempatan yang sama, maka sungguh itu tidak benar-benar sama, baik peluang maupun kemungkinannya dengan yang pertama. Rahwana kecewa terhadap Sita karena tidak mengambil peluang ini)
aku gerimis dan kau daun talas
memberiku singgah sejenak
lalu terik menghapus
dan kau kehilangan
(Penyair, dari sudut pandang pengambilan peran sebagai Rahwana, membayangkan dirinya "laksana air di daun keladi/talas", alias sama sekali tidak memberikan dampak apa pun, lebih-lebih karena "terik yang ikut menghapusnya"; bagian ini sejujurnya kurang memberikan dampak penekanan karena air memang tidak pernah membekas di daun talas, tanpa harus dikena terik matahari).


badan kasar boleh meniada (secara jasmani alias lahiriyah, ia tak ada)
tapi badan halus tak kan ke mana (tapi secara batin, ikatan itu tetap ada. Ini adalah titik kunci mengapa orang yang terlanjur mencintai seseorang tidak dapat sepenuhnya mampu melupakan meskipun ia seolah-olah bisa melupakan. Ibarat kata, pada suatu saat nanti, ia akan merindukan orang itu. Dan rindu itu memang benar bisa diobati, tapi tak bisa disembuhkan)
segara geni mensucikanmu
karena cintaku, Sita
(mengacu pada pembakaran Alengka oleh Hanoman, yang tentunya berkonotasi 'penyerangan' demi perebutan Sinta, sementara Nuryana—melalui narator Rahwana—justru melihatnya sebagai hal lain)


kujaga bara tetap menyala
tak kan padam api cinta (ambisi mencintai dan memiliki Sinta benar-benar besar, bahkan dengan pernyataan berikut):
sebab cintaku lebih tua daripada Rama (bahkan, Rahwana berjanji untuk tetap mempertahankan api cintanya itu hingga mereka tiada, dikembalikan ke asal mula)
sampai asal memanggil
sukma kita bercengkerama (betapa imajinatifnya cinta Rahwana ini, platonis. Meskipun ia sadar Sinta akan kembali bersama Sri Rama, tapi ia berambisi sukma merekalah yang bakal menyatu, di antara tubuh-berdua)


di akuarium jadi mempelai lohan
pengantin emas yang romantis
atau sepasang angsa di telaga
bening lagi sejuk
(Bait terakhir puisi hanyalah pemanis, penyedap ungkapan di bagian awal yang sebetulnya sudah cukup. Andai saja dihapus, mungkin tidak akan berpengaruh kepada isinya)


Denpasar, 2010


* * *
Kalau kita lihat, saling lempar puisi jadi mirip saling lempar pantun. Bedanya, puisi Rahwana kepada Sita maupun balasannya, Pengakuan Sita, ditulis oleh orang yang sama: Nuryana. Ini menunjukkan keterampilan sendiri, keterampilan mengambil peran, keterampilan berempati, dan keterampilan 'casting', yakni menentukan tokoh yang pas untuk memerankan bagian-bagian drama)


PENGAKUAN SITA


Karena diragukan kesuciannya, Sita lantas menulis pernyataan puitis. Tapi, pernyataan ini bukan balasan untuk Rahwana, melainkan untuk Rama. Simaklah:


aku tak minggat karena khianat
aku tirakat mencari hakikat (nyatanya, dalam cerita, seolah-olah Sita minggat, padahal diculik. Barangkali, penggunaan kata "minggat" oleh penyair dimaksudkan untuk menguatkan unsur "pelanggaran" yang dituduhkan. Sita diculik karena dia tertipu, bukan karena luluh terhadap bujuk rayu. Frase "mencari hakikat" menjadi jawaban untuk itu).
dalam terpaan angin barat (angin kencang)
di samudera Rahwana
aku mendengar nyanyian jiwa
pada pusaran arusnya aku merasa fana (dalam cerita, Alengka memang berada di seberang lautan. Namun, frase samudera Rahwana mengacu pada makna konotatif, yakni dalam lingkungan kekuasaan Rahwana dan Alengka. Shinta merasa tidak berdaya di sana, tetapi ia memberikan keyakinan kepada Sri Rama perihal kesuciannya).


aku bukan ikan panggang di api alengka
unggun dalam gigil, obor di malam pekat (dua larik ini juga masih merupakan pernyataan yang sama dengan di atas. Shinta mengaku setia dan cintanya tidak pernah berubah. Makanya, ia menenangkan Sri Rama agar tidak perlu resah)
berjagalah di rumah, Kakanda
tak jemu kugenggam cintamu
di ruang kalbu


Tidak hanya dengan baris-baris pelipur di atas, penyair (melalui lidah Shinta) bahkan masih menegaskan lagi perihal kesucian Shinta dari jamahan Rahwana dengan menggantungkannya kepada takdir. Ia melihat, bahwa fatalisme akan membuat orang mudah menyerah sehingga daya upayanya menjadi tumpul.


kesucian milik tuhan
kita bukan sekadar wayang
yang dijogetkan dalang
dalang mbeling boleh
mempelesetkan cerita sesukaanya
namun cinta kita tak sedetik pun
bertepuk sebelah tangan (bagian ini menjadi sedikit berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Jika dari awal puisi sangat serius dan reflektif, dari sini penyair lalu memulai langkah demitefikasi, dengan nyindir 'dalang beling' dan 'plesetan'. Kasus seperti ini sama dengan sebuah cerita pendek [saya pernah membaca di Jawa Pos, dulu, tentang dalang yang hendak mematikan Rahwana tetapi Rahwana memberontak, tidak mau mati, melawan kepada takdir, menentang kepada dalang. Jika tak keliru, cerpen berjudul "Rahwana Menolak Mati" memberotak kepada dalangnya]. Ternyata benar, penyair mulai menulis dengan sudut pandang kekinian dan 'ugal-ugalan' pada bait berikut)


meski aku di pengasingan
koran memberitakan
televisi mempertontonkan
medsos meramaikan isu
cinta kita gonjang-ganjing
dan engkau berkomentar miring (ini adalah petikan percakapan zaman sekarang yang diselipkan ke dalam kisah Ramayana. Mana mungkin? Kreasi manusia sangatlah bebas sehingga satu sumber wacana dapat terlahir dalam berbagai bentuk dan berbagai media. Namun, di sini juga ada kritik, bagaimana begitu mudahnya kita terpedaya oleh media/media sosial, yang begitu tipis bedanya dalam memberitakan mana investigasi dan mana berita palsu. Target kecepatan menyebarkan membuat tuntutan khusus sehingga ruang berpikir masyarakat pun menjadi singkat, pendek, instan).
mengapa tak percaya padaku
mengapa terpancing murung-miring? (Jika Rama meragukan kesucian Sita, kini Sitalah yang giliran meragukan keyakinan Rama akan keterpedayaannya terhadap hoax)
teleponlah Wibisana
tanyakan kepada adik Rahwana yang jujur itu
aku baik-baik saja dan kerasan di puri alengka (ada medsos, ada telepon juga. Bukankah sangat kekinian?)
tak ada yang perlu dikhawatirkan
tak usah mengerahkan kapal perang
tank dan pesawat tempur rongsokan
janganlah menghamburkan uang negara
untuk urusan cinta dan keluarga
(Inilah puncak kritik, kritik Shinta untuk penguasa dan para pengambil keputusan publik, bukan semata-mata kepada Rama. Nyatanya, banyak kita lihat, ada saja orang-orang yang menyamarkan kepentingan keluarganya, bahkan kepentingan pribadinya, dengan mengatasnamakan kepentingan publik, bahkan negara. Jamak pula kita tahu, cara-cara curang seperti ini dilakukan secara nyata, tanpa malu-malu).
pada saatnya nanti
aku akan pulang sendiri
percayalah aku mencintaimu sepenuh hati
cintaku lebih panjang daripada nafas hari-hari


Penyair melakukan demitefikasi dan sejenis ‘slapstik’: menyelinapkan pemahamannya terhadap teks asal dengan cara melakukan penentangan atau perombakan lalu menyajikannya dalam teks yang baru dengan bumbu satire dan kelakar, seperti melibatkan peran media sosial (Facebook) dalam kehidupan cinta antara Rama dan Sita (Sinta) di Alengka.
Di bagian ini pula, meskipun ada tema cinta lahiriah dalam kehidupannya, tema mitologi mengambil tempat pada banyak puisi. Hal itu sekurang-kurangnya dapat dibuktikan pada tiga puisi pertama [yang dibahas di sini cuma dua saja] di bagian kedua (bagian yang membahas tema mitologi tersebut) sembari ‘merusak’ sudut pandang khalayak kebanyakan.
Kisah cinta dan kesetiaan, baik dan jahat, Rama dan Rahwana, jadi sedemikian lucu dan kekinian, bukan? Sembari menyelipkan kritik sosial atas fenomena kekuasaan di masa sekarang, Nuryana melakukannya dengan tindakan 'ekserp', yakni mengambil kronologi cerita dalam Ramayana namun disertai perombakan terhadap mitos dan kemapanannya.


Selebihnya, wallahu a'lam.
© M Faizi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar