03 Oktober 2014

Nenek Moyang Ilmu Pengetahuan: Ulasan Puisi oleh Rusdi Umar


NENEK MOYANG ILMU PENGETAHUAN

(Sebuah Memoar Masa Kecil Yang Kian Menghilang di Kehidupan)


oleh Rusdi Umar 



Kilatan berkas cahaya di langit

melintas rendah sehabis Maghrib

"Seorang malim segera pergi..."


Itu bukan meteor, itu bukan benda langit

hanya cahaya yang melintas dekat

selepas ghurub


Lalu, ada kala seberkas cahaya

melintas tinggi di jumantara malam

membawa curiga dalam hati

"Itu cerawat yang dibawa setan

seseorang akan buncit perutnya

lalu meninggal dengan sengsara"


Itu juga bukan benda langit

sebab, ia tak jatuh melayang ke bumi

membuat kerusakan


Kami belajar pada alam

membaca tanda duaja dan perubahan

pada angin, pada cahaya dan gelap

pada nanar, pada mimpi dan kenyataan


Pengetahuan beranak pinak

dari pengalaman dan khayalan

kami belajar melapangkan ruang penafsiran

belakangan, sarjana-sarjana setelah kami

mencari wahyu-wahyu ilmiah

di laboratorium dan perpustakaan


Pengalaman dan khayalan

puisi dan pepindannya

merupakan leluhur kami

nenek moyang ilmu pengetahuan


25/08/2009


Menjadi seorang penikmat sastra lebih mudah dan lebih enjoy ketimbang menjadi apresiator, apalagi penikmat yang apresiator. Seorang penikmat sastra tidak dituntut untuk memberikan ide, penilaian, ataupun apresiatif terhadap karya sastra yang dimaksud. Berbeda dengan apresiator yang dituntut untuk memberikan penilaian baik-buruknya(?) sebuah karya sastra.


Maka saya di sini mencoba menjadi yang pertama. Yaitu sebagai penikmat sastra agar tidak dituntut memberikan penilaian, yang notabenenya, saya bukan seorang kritikus atau apresiator sastra. Saya hanya mampu mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman pribadi, terkait dengan sebuah karya sastra.


Bermula dari sebuah 'ranah' kebetulan, seorang teman saya sekitar awal September 2014 bercerita kepada saya bahwa ia punya sebuah buku kumpulan puisi. Pengarangnya adalah M. Faizi, dengan judul ''Permaisuri Malamku; Buku Kumpulan Puisi." Saya pun tertarik dengan buku tetsebut, dan Alhamdulillah, saat ini buku yang dimaksud sudah ada di tangan saya.


Pertama kali saya bersinggungan dengan buku ini, ada kesan realitas kehidupan di malam hari. Hubungannya dengan gelap, kelam, purnama, bintang, dan semacamnya. Seperti yang diungkapkan pengarang dalam pengantarnya, meski buku kumpulan puisi ini berbicara 'perbintangan', tetapi bukanlah sebagai buku astronomi, akan tetapi tetap sebagai buku sastra puisi yang harus diperlakukan sebagai lingua puitika.


Salah satu puisi yang saya garis-bawahi, dari beberapa puisi (sebanyak 41 judul puisi) adalah seperti yang saya tulis di atas; Nenek Moyang Ilmu Pengetahuan.


Membaca puisi ini mengingatkan saya pada masa kecil, ketika listrik masih sebuah hayalan. Pada saat itu, biasanya, malam hari saya dan anggota keluarga lainnya, menggelar tikar di halaman. Menikmati taburan bintang-bintang di langit, atau cahaya rembulan jika pas purnama. Kami biasanya menikmati malam sambil memandang lekat ke cakrawala. Menghitung bintang, atau mencakapkan rasi bintang yang nampak di penglihatan. Dalam bahasa saya (Madura Batuputih), ada bintang karteka, bintang kiblat, ada bintang ngaysongayan, bintang nanggala, dan bintang lainnya. Semua ada dalam percakapan yang seakan tidak berkesudahan.


Dalam puisi Nenek Moyang Ilmu Pengetahuan, saya diingatkan pada salah satu garis cahaya, yang dalam pemahaman kampung saya adalah 'pana(h)'. Sebentuk cahaya, yang dalam diskripsi puisi M. Faizi ini adalah,


"Kilatan berkas cahaya di langit

melintas rendah sehabis Maghrib

"Seorang malim segera pergi...""


Ya, di kampung saya juga ada kepercayaan seperti itu. Bahwa cahaya yang dalam pemahaman orang dulu 'bukan' meteor, adalah sebentuk sihir yang dilepaskan oleh para tukang sihir. Cahaya tersebut terlahir dari sebab ritual seseorang untuk mencelakai orang lain tersebab oleh sesuatu yang tak pasti.


Lalu, ada kala seberkas cahaya

melintas tinggi di jumantara malam

membawa curiga dalam hati

"Itu cerawat yang dibawa setan

seseorang akan buncit perutnya

lalu meninggal dengan sengsara"


Cerita teman-teman saya, juga yang dewasa saat saya masih bocah ingusan, cahaya tersebut berasal dari pisau, beling, paku, dan lainnya, ditaruk dalam sebuah mangkok, kemudian dibacakan mantra atasnya, dan melesatlah sebagai cahaya 'pana(h)'. Jika seseorang melihat cahaya tersebut (cerawat), maka ia harus berteriak 'pana(h) tae', dan dipercaya sihir tersebut tidak akan mempan. Maka, gema 'pana(h) tae' seringkali akan terdengar pada setiap waktu dan kesempatan. Itu dulu, sekarang hal tersebut sudah musnah. Tinggal kenangan saja.


Membaca alam, termasuk legenda di dalamnya adalah bagian dari proses keilmuan. Dari melihat, memperhatikan, memprediksi, atau bahkan menghayal, adalah cikal-bakal terbukanya pengetahuan. Katakanlah, di zaman 'batu' kepercayaan geosentris masih berurat berakar. Bahkan, jika ada yang menyalahi kesepakatan saat itu, maka taruhannya adalah penjara, bahkan nyawa.


"Pengetahuan beranak pinak

dari pengalaman dan khayalan

kami belajar melapangkan ruang penafsiran

belakangan, sarjana-sarjana setelah kami

mencari wahyu-wahyu ilmiah

di laboratorium dan perpustakaan"


Walaupun pada akhirnya yang nyata adalah heliosentris, matahari sebagai pusat tata surya, maka proses menuju jalan realita ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Maka saya setuju, jika kurikulum 2013 mengutamakan proses daripada hasil, meski seharusnya hasil juga harus mencerminkan sebuah logika.


Pada bait terakhir puisi M. Faizi ini menjelaskan tentang cikal bakal keilmiahan.


"Pengalaman dan khayalan

puisi dan pepindannya

merupakan leluhur kami

nenek moyang ilmu pengetahuan"


Membaca buku puisi M. Faizi, akan dibawa ke ruang-ruang kegelapan, malam. Akan mengingatkan kita pada zaman 'tanpa listrik'. Sinar bulan adalah harapan pasti untuk menemani perjalanan malam. Dan masih banyak lagi, pembacaan malam yang akan menjadi kenangan saat ini. Bahkan, anak cucu kita, kemungkinan, sudah tidak dapat menikmati malam seperti yang kita (khususnya saya) pernah alami di masa awal-awal kehidupan dulu.


Tidak hanya itu, menikmati kumpulan puisi ini pembaca diajak untuk bernustalgia dengan malam, berserta segala kisah yang melatarbelakanginya. Disamping juga, perbendaharaan kata yang begitu kasat, hingga kita disuguhi kosa kata baru yang koheren. Benarnya lagi, di penghujung halaman buku ini terdapat perbendaharaan kata yang termaktub, terjabarkan makna dan artinya.


Membaca puisi 'Nenek Moyang Ilmu Pengetahuan', saya juga diajak untuk kembali pada memoar puisi D. Zawawi Imron. 'Nenek Moyangku Air Mata' adalah salah satu judul puisi Zawawi yang kental di ingatan saya, semasa masih di Annuqayah. Kebetulan juga, pemuisi si Celurit Emas ini seringkali diundang untuk mengisi acara sastra di PP. Annuqayah. Tentu saja, nenek moyangnya M. Faizi berbeda dengan nenek moyangnya D. Zawai Imron. Kontemplasi makna dan jabaran puitiknya mempunyai ke-khasan masing-masing, disamping latar belakang lahirnya puisi-puisi yang dimaksud.


Di penghujung sesobek catatan ini, saya mohon maaf kepada semuanya, tanpa kecuali, utamanya M. Faizi sebagai pihak yang terlibat langsung dalam penciptaan puisi ini. Harapan saya, kreatifitas sastra Beliau tertular dan terjabarkan dalam jiwa saya. Wassalam.



Sumenep, 30/09/2014


Sumber: http://mawarberduri99.blogspot.com/2014/10/nenek-moyang-ilmu-pengetahuan.html