12 November 2011

Permaisuri Sang Kiai


Oleh: Malkan Junaidi, penyair tinggal di Blitar

Dibandingkan banyak kawan di ranah sastra nusantara, jujur saya seringkali merasa paling kuper dan udik. Ini, saya tegaskan, bukanlah sejenis sikap tawadhu’ atau low profile yang keren, namun sangat nyata, dibuktikan dengan luputnya salah satu nama, yaitu M. Faizi selama ini dari meja baca saya. Padahal tidak sedikit ternyata karya yang empunya nama tersebut sudah hasilkan (antara lain 18+, Sareyang, Rumah Bersama, dan yang ter-gress dan sedang kita obrolkan Permaisuri Malamku). Saya mengenal sang pendekar tahlil asal Madura ini sebelum mengenal karya-karyanya. Image Faizi sebagai pemimpin sebuah pesantren melekat di benak saya lebih dulu sebelum image-nya sebagai seorang penyair. Saya yakin dongengnya akan terdengar berbeda jika dua proses perkenalan ini disungsang.

Buku Permaisuri Malamku, berdasarkan tarikh penciptaannya memuat puisi-puisi yang ditulis di rentang tahun 2006 hingga 2011. Jumlah seluruhnya ada 41 judul, di mana 75% di antaranya ber-setting dan atau bertemakan ‘malam’. Tentu kita layak penasaran ada apa dengan malam hingga begitu inspiratif bagi kiai penggemar musik rock ini, dan bahkan secara amat romantis ditahbiskannya sebagai sang permaisuri?

Alih-alih menanyakannya langsung, saya justru menyusun sebuah analogi empiris dengan membuka lagi laci kenangan saya, kembali ke masa-masa di mana saya 24 jam sarungan, di sebuah pesantren kecil di pinggir sebuah desa. Jam setengah sepuluh malam, usai bandongan kitab-kitab klasik seperti Alfiyah Ibnu Malik dan Fathul Mu’in, kami para santri membentuk beberapa grup ngobrol, tak ketinggalan lintingan dan (jika ada duit) kopi yang diseduh di cangkir-cangkir bambu. Bahan obrolan bisa apa saja; keluarga di rumah, ilmu-ilmu yang tengah dikaji, kerjaan di sawah atau di kandang ulat, bahkan wanita pujaan pun tak jarang jadi bahan pembicaraan favorit. Suasana terasa lebih magis saat musim pohon kopi berbunga tiba, aromanya yang khas menyelimuti kompleks pesantren. Dari beranda bintang-bintang tampak bagai festival kunang-kunang, bersaing dengan cahaya rembulan. Apakah kiai Faizi memiliki pengalaman yang serupa dengan saya? Tak mustahil.

*****

Penjelajahan pertama saya atas Permaisuri Malamku, jujur, tak membuahkan hasil yang memuaskan. Baru pada penjelajahan kedua saya memanen beberapa kesadaran penting, antara lain: pertama, ternyata nyaris tak ada puisi bernuansa didaktik dan dogmatis di buku ini, sebagaimana biasa saya temui dalam tradisi nadzoman atau syiiran pada kitab-kitab klasik di pesantren. Nyaris tak ada istilah-istilah sufistik, malahan saya dihadang oleh segerombol kata semacam “polaris, zenit, konjugasi, kopula, objektivisme, subjektivitas, voltase, dan amnesia” yang mana sempat membuat saya mengumpat “what the f*ck!” dan tertawa dalam batin. Kedua, saat saya cermati mayoritas tipografi yang dipakai Faizi, saya melihat tak ada pola yang pasti. Kelihatannya lelaki penggemar Colt T-120 ini sangat cuek perihal tampilan fisik. Tapi ini bisa juga dipandang sebagai semacam pemberontakan terhadap kebakuan yang membelenggu dan keteraturan yang semu, dan oleh karenanya justru menjadi salah satu keunikan dari seorang kiai Faizi. Ketiga dan yang terpenting, citra dan tema yang dominan, yakni “malam”, ternyata hadir dan atau dihadirkan sebagai representasi sikap apresiatif dan kontemplatif ala kiai.
Malam dengan gelap, dingin, sunyi, bintang, dan bulan, adalah maha karya yang mempesona. Menjadi manusia biasa (orang kampung?) yang bisa dan sempat menikmati semua itu, oleh karenanya adalah hal yang sangat disyukuri oleh kiai Faizi:

“Indahnya menjadi manusia biasa
yang dapat mendongak dan mendanguk
berpikir dan melihat langit di malam purnama”
(Pulang Manaqiban)

Manusia modern, menurutnya, barangkali tak pernah bisa-dan-sempat mencicipi keriangan sederhana seperti ini, justru karena mereka terlalu terpesona dengan listrik, penemuan ‘revolusioner’ itu. Faizi menyindir keras orang ‘hebat’ semacam astronom, yang logikanya lebih paham perihal bintang, bulan, dan fenomena malam yang lain, namun tak mendapatkan apa-apa dari keahlian observatif mereka kecuali ketertipuan belaka:

astronom mungkin akan kesulitan memetakan langit
seperti penyair yang hendak menulis sajak liris
lalu terjerumus di jurang prosa:
sebuah kebohongan lain yang lebih digemari
(Prosa di Bumi-Langit Tua)

Memang, bagi manusia ‘maju’ seperti kita, agaknya listrik sudah merupakan hal yang niscaya. Kita keukeuh mempertahankan keberadaannya kendati banyak konsekuensi ironis mesti ditanggung. Selain terkikis hebatnya sumber daya alam seperti jamak diketahui, pesona malam pun akhirnya muncul lebih sering sebagai jeda sekilas, sebagai koma kecil di antara dua kalimat panjang. Sangat wajar jika hal ini memantik kerinduan akan kenangan primordial pada diri orang seperti kiai Faizi, di mana kenaifan membuat kehidupan terasa lebih aman dan nyaman:

Sejenak, aku ingin kembali ke dulukala
merasakan gelap dan kejujurannya
tapi hanya sebentar listrik kembali menyala
voltase menyentak
aku terlempar
jatuh berdebam di masa kini
yang terang oleh ilmu dan iman
tetapi digelapkan oleh takabur dan tipu daya
(Sejenak ke Dulukala)

Seorang kiai pada dasarnya memang adalah seorang pemikir, sehingga impresi-impresi sensorik yang ditangkap oleh inderanya tak mungkin hanya berakhir dengan kebengongan dan kata “wah” belaka, melainkan pasti membawa pada sebuah kontemplasi. Al Qur’an, sebagai referensi utama dan standar orientasi moral dan perilaku keseharian seorang muslim, memiliki banyak suplai teks imperatif (implisit maupun eksplisit) berkaitan dengan hal ini, misalnya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang,terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (Q.S. Ali Imran: 190), yang selaras dengan salah satu bagian puisi Faizi:

mengapa titik kecil yang berpikir itu
tak mampu mencari alasan
untuk apa gugusan cahaya raksasa ini dinyalakan

(Surat Cinta Untuk Malam)

Memperhatikan alam sekitar, mencermati gejala-gejala yang timbul dan tenggelam, yang mikrokosmos mengingatkan pada yang makrokosmos, yang temporal mengingatkan pada yang eternal, yang nisbi mengingatkan pada yang mutlak, yang relatif mengingatkan pada yang absolut, yang gelap mengingatkan pada yang terang, ketidaktahuan mengingatkan akan adanya kemahatahuan. Singkatnya, hamparan langit dan bumi beserta segenap nomena dan fenomenanya, semua pada akhirnya menjadi samudera metafora yang membawa perahu pemikiran kiai Faizi pada kesadaran eksistensial: siapa aku, kamu, dia, kita? untuk apa aku, kamu, dia, kita ada? dan seterusnya dan sebagainya.

Akan tetapi seberapa pun keren dan canggih hasil sebuah permenungan, seorang muslim yang taat biasanya menghindar sedapat mungkin dari terperosok ke jurang-jurang kesombongan. Ia memang diajarkan untuk senantiasa rasional, namun dengan tanpa mendewakan rasio, sehingga alih-alih menyatakan berbagai ‘kebenaran’, kiai Faizi justru menegaskan bahwa kita sesungguhnya tengah berdiri di dan bicara dari sudut pandang kita masing-masing. Oleh karena itu perbedaan seringkali harus dibiarkan tetap menjadi perbedaan sebagaimana malam tetap menjadi malam dan siang tetap menjadi siang:

tidak, namaku hanya malam
engkau tak bisa memanggilku di luar itu
yang satu tidak dapat menatap lainnya
sebagaimana ‘tahu’ dan ‘tidak tahu’
tak menemukan bangku untuk duduk bersama
(Namaku Malam)

*****

Berpijak pada pendekatan yang serampangan dan amat tergesa di atas, saya memberanikan diri menghunus dugaan bahwa selama ini kiai Faizi telah berusaha mewujudkan sebuah simbiosis dengan malam dan seluruh muatannya. Simbiosis yang cukup unik, karena ia menahbiskan malam sebagai partner kekuasaan2 dan kemesraan sebagaimana terlihat dari penyimbolan malam sebagai permaisuri. Namun meski terlihat intim dan romantis, hubungan ini menurut saya juga paradoks dan dilematis. Paradoks karena walau dekat dan akrab namun ternyata diselimuti dengan begitu banyak ketidakmengertian “aku diciptakan untuk memahamimu, atau engkau diciptakan untuk menopang wujudku?” (Surat Cinta untuk Malam). Dilematis karena “Engkau mendekat dalam teropong, tapi menjauh dalam pengertian” (Surat Cinta untuk Malam), hingga akhirnya hanya sikap pasrah saja yang bisa ia pilih. Dan kita sama tahu “pasrah” dalam semantika keislaman memiliki nuansa makna yang positip dan merupakan pilihan yang sangat rasional.

Permaisuri malamku
selalu datang dengan tanpa kehadiran
dalam rentang yang tak terjangkau pandang
karena jarak yang menghubungkan aku denganmu
semata patahan-patahan garis
yang tak henti-hentinya digabungkan
dalam sebuah pengandaian
(Permaisuri Malamku)

Blitar, 17 Oktober 2011

05 November 2011

Ternate (Moluku Kie Raha)

buat Dino Umahuk

Matahari yang lebih dulu bersinar di sini
dan malam yang hangat oleh aer guraka
menandai Ternate sebagai pendar di khatulistiwa

Tuas apa namanya yang dapat mencungkil mutiara
yang tersimpan di balik Gamalama?
bukan puisi, pasti
ia bernama rasa memiliki
bahwa tanah ini, menanjak dan menurun
lurus dan menikung
mirip alur cerita yang penuh kejutan
penuh sanjung dan pepindan

“Mengapa kamu begitu mencintai laut?” tanyaku
“padahal rempah-rempah tumbuh di darat?”
matamu berkilat dalam ucapan,
“Pulau-pulau memisahkan
bahasa menyenjangkan
laut yang mempersatukannya.”

“Mengapa kamu pergi dari Kie Raha?
tak takutkah kamu ia berpindah letak di dalam peta?”

Kamu menunjuk langit
ya, aku melihat kabut di puncak Gamalama
pohon-pohon yang lebat seperti jambang
Kamu menunjuk laut
ya, aku melihat air yang jernih kemilau
asin saat dicecap, tawar saat dipandang

Kamu diam tak berkata
kamu tersenyum tanda bersuka

Tempat ini telah lama diberi nama
Orang-orang tahu, nama untuk dikenal
meskipun juga demi upaya penaklukan
aku berusaha melihat dan merasa

Lalu, kamu antar aku ke suatu tempat
“Inilah tahi lalat di pelipis khatulistiwa.”
Aku berdercak
“Ah, rupanya, surga itu tak begitu jauh letaknya.”

29/10/2011




16 Juli 2011

Jakarta Berlin Arts Festival



Selama 9 hari, terhitung sejak Sabtu 25 Juni sampai dengan Minggu 3 Juli 2011, saya mengikuti kegiatan seni “Jakarta Berlin Arts Festival”, di Berlin, Jerman. Dalam rangkaian acara itu, saya mengikuti banyak kegiaan seni dan sastra secara khusus. Adapun acara sastra yang melibatkan saya sebagai pemateri adalah; sarasehan di KBRI Jerman (26 Juni 2011), Workshop sastra di Universitas Humboldt dan diskusi sastra di Kulturbraurerei (Literatur Werkstatt) pada tanggal 1 Juli, serta tampil di galeri Berlin Carré Artroom, Alexanderplatz, pada hari terakhir, Sabtu 2 Juli 2011.

Berikut ini kegiatan sastra di Kedutaan Besar RI, Jerman; Literaturwerstatt Kulturbraurerei; workshop di Universitas Humboldt dan baca puisi di Artroom Alexanderplatz
























Foto terakhir ini bukan dalam rangka festival, ini adalah foto saya di sebuah tempat di Liepziq, sejenis kafe, tempat Johann Wofgang Goethe menulis puisi

08 Juli 2011

Other Old Poems: Translated by Shally Novita



NAMA BAGI RUANG, KATA BAGI WAKTU

Liburan Dimulai Hari Ini:

Dari Madrid ke Praha
dari Berlin hingga Venezia
tak kautemukan tempat bermain anak
yang pengetahuannya tentang tempat itu
adalah bertanya
tapi engkau telah menyimpan jawaban:
bahwa liburan adalah kata
untuk memberi nama sebuah ruang
yang segera ditingggalkannya

“Hari ini, liburan dimulai, Bu!”
maka hari-hari yang terlewat
berkejaran menuju masa lalu

Kapal Tak Lagi Berlayar:

Sesungguhnya engkau paham
jarak bukanlah nama bagi ruang
melainkan kata bagi waktu
yang menemukan makna di perjalanan
bukan pada dermaga yang dituju
karena itu tidak akan pernah kaujumpai
seorang nahkoda yang melipat layar
pada saat kapal telah bersandar
karena ia hanya punya satu tujuan:
mengangkutmu ke mana pun pergi
dan menghantarkanmu pulang kembali

Dan Kereta Telah Bergerak:

Setelah kauhabiskan akhir malammu
dengan Antonio’s Song dan My Way
engkau tiba di stasiun pagi sekali
ketika rel-rel baja yang belum memuai itu
bergetar oleh degup jantungmu
seiring lokomotif yang datang tanpa peluit

Tiket habis, demikian tertulis di loket
ruangan itu tak menyediakan nama
bagi peron yang ditinggal kosong
yang ada hanyalah gerbong-gerbong
bagi mereka yang hendak berangkat kerja

10/7/2003

NAME FOR SPACE, WORDS FOR TIME

Vacation Starts Today:

From Madrid to Prague
from Berlin to Venice
you do not find children's playground
whose knowledge of the place
was asking
but you have saved your answers:
vacation is a word
for calling a space
that immediately leaved

"Today, the holiday begins, Mom!"
then the days that be missed
chasing each other towards the past

Ships sailed no more:
Surely you understand
distance is not the name for the space
but the word for the time
who finds a meaning in the journey
not on the dock designated
because of that, you will never meet
a captain who folds the sail
when the ship is leaning
because he has only one goal:
taking you along to anywhere
and returned you back

And Train moves:

After you spend your evening
with Antonio's Song and My Way
you arrive at the station early
when the steel rails that have not expanded yet
vibrate by a pounding of your heart
as locomotive that arrived without whistle

Tickets sold out, so written in the booth
the room was not providing names
for the platform that was left empty
there are only compartements
for those who want to go to work


PERNIKAHAN-PUISI

Aku menikahimu:
untuk membuktikan keteguhan hati
memilih belahan jiwa
sebagaimana janji puisi
pada kata-kata

25/11/2003

WEDDING-POEM

I married you:
to prove determination
choose soul mates
as promise of the poem
to the words


SAIPIANGIN

Saipiangin,
ringankan tubuh
akulah angin
di mata badai
jangan kaukejar
kakiku seribu
menderu tak bersiru
jangan rintangi
tak ada kata henti
dalam lariku

3/06/2002

SAIPIANGIN

Saipiangin,
lightens body
I am the wind
in the eye of storm
don’t pursue me
I have thousands of feet
roaring not splatting
don’t border me
there is no stop
in my running


RUANG-WAKTU: SEBUAH INTERVAL

Di Kafe, 00:13

Gadis berwajah oval
bukan Latin, bukan Meksiko
suka R’NB, benci Flamenco
menghirup tembakau virginia
dalam-dalam
sementara alunan saksofon
sayup-sayup mendayu, sexy…
membuatnya semakin sendiri

Di kafe yang sepi pengunjung itu
seperti hatinya
dini hari selalu saja mendahului jam

Di Rumah, 02:27

Hujan telah reda, udara lembab basah
serangga muncul menghirup sampah
mencari uap tanah
sebelum panas katulistiwa merebutnya
semua peristiwa
yang tersekap di gigil tubuh
mendesah bersama keluh,
“Hanya pada-Mu aku telanjang
tapi tidak pada manusia
yang mengiraku terlelap dalam dunia.”

Di Luar Keduanya,

Orang itu, sosok lain
dua dunia, dialogis
metafora, teks jamak
pengemis yang loba
punya pilihan belajar puasa;
membenci apa yang dicinta


SPACE-TIME: AN INTERVAL

At the Cafe, 00:13

Oval-faced girl
neither Latin, nor Mexico
loves R'NB, hates Flamenco
deep inhaling a Virginian tobacco
while the strains of saxophone
grumbling faint, sexy ...
made her more lonely
In a cafe without visitors
such her heart
early days always precede time

At Home, 02:27

The rain has subsided, moist and wet air
insects appear inhaling garbage
looking for vapor of soil
before the hot equator takes it
all events
are locked in a shivering body
sigh and sigh,
"Only in front of Thee I am naked
but not to humans
which thought I sleep in the world"

Outside Both café and home

The man, another figure
two worlds, dialogue
metaphors, plural text
a greedy beggar
have a choice to learn fast;
to hate what is beloved


BAYI YANG KE-200 JUTA

Bayi yang ke-200 juta telah lahir
Haryono Suyono tampak berdebar
di dalam teve saat mengabarkan
peristiwa agung ini
kepada seluruh rakyat

Dari alam azali,
bayi yang ke¬200 juta
membawa secarik kertas yang bercerita
tentang harga pupuk, beras, semen
yang terus melonjak
juga berbagai kerusuhan yang terjadi
membawa petaka di zamannya

Bayi yang ke¬200 juta telah lahir
di antara pesta demokrasi
dalam warna¬warna bendera
dan peristiwa¬peristiwa berdarah
untuk pembangunan yang diagung-agungkan

Bayi yang ke¬200 juta telah lahir
ia menangis untuk Indonesia
karena dalam kesuciannya
sudah menanggung beban hutang negara

6/2/1997

THE 200 MILLIONth BABY

The 200 millionth baby has been born
Haryono Suyono seemed pounding
at the TV while preaching
this great event
to all people

From the eternal nature,
the 200 millionth baby
brings a piece of paper that describes
about the price of fertilizer, rice, cement
which continue to soar
also various riots that occurred
bringing up disastrous in this day

The 200 millionth baby has been born
among democracy party
in the colors of flag
and bloody incidents
for the glory of development


The 200 millionth baby has been born
he cried for Indonesia
because of in his purity
has borne the burden of national debt


CERITA KELUARGA KAMI

Alkisah, pada zaman dahulu kala
kami hidup terhomat, kaya raya
lalu malapetaka menimpa kami
dari judi ke judi, bertaruh harga diri
bangkrut menuntut kami buka usaha
menjual diri ke negeri manca
dan seperti kebanyakan cerita
kami berhasil; happy ending

Keluarga kami suka menulis kisah
tentang bencana yang datang
waktu kami berfoya-foya
rentenir meminta laba, bankir menagih bunga
menjelaskan detik berlipat usia

Selama bertahun-tahun lamanya
dituakan kolonialisme dan hutang
lalu kami gubah sebuah roman
untuk anak cucu di masa mendatang;
‘pada akhirnya,
mereka hidup berbahagia
untuk selama-lamanya’
begitulah penutup cerita

Di masa tua yang berbahagia
anak cucu kami menyusun cerita
tentang dua hobi keluarga kami
yang tak sempat ditulis sebelumnya;
menulis dan berhutang
tapi tak suka membaca dan membayar

8/2/2003

OUR FAMILY STORY

Once, in ancient times
we were honorable, wealthy
then disaster struck us
from gambling to gambling, betting on self-esteem
default demands us to open a business
sell ourselves to foreign country
and like some stories
we succeeded; happy ending

Our family loves to write stories
of a coming disaster
when we spree
moneylenders ask earnings, bankers collect interest
explain time pleated age

Over many years
getting old by colonialism and debt
then we composed a romance
for children and grandchildren in the future;
'in the end,
they live happily ever after '
that's the cover story

In the happy old age
Our grandchildren compose stories
about two of our family hobbies
that were not previously written;
writing and owe
but do not like to read and pay


SAAT AKU MENJADI RABAT

Aku adalah seorang lelaki gimbal
yang menari hingga trans
dalam notasi yang berkeluk
di antara nada
yang tergunting dalam lipatan
yang tak lengkap dalam ketukan
saat trumpet mengalun cerewet
ketika snare dipukul kencang

Itulah saat aku menjadi rabat
jalan tengah idealisme dan pasar
lalu larut dalam harmoni
di antara arus balik kakofoni
saat-saat kutemukan orisinalitas:
adzan di surau, choir di katedral

Di antara mimpi buruk pembajakan
seniman berkarya mencari sesuap makan
di saat yang lain disebut virtuoso
yang lain dihujat karena karya jiplakan
lebih aneh lagi nasib para musisi
yang populer karena akor lugu
boleh idealis tetapi dijamin tak laku

Demikianlah kisah para seniman
yang pernah singgah
di warung kopi dunia yang ramai
menggosip semalam suntuk
bahkan ada yang bertukar teori
bagaimana cara menjiplak
tetapi para penggemar tetap tak tahu

Karena itu, maka layaklah bila aku ragu
barangkali sejarah sebenarnya tak ada
kecuali cerita yang tak henti diulang-ulang
dalam lain bentuk dan lain nama

04/3/2003

WHEN I AM BEING A RABAT (DISCOUNT)

I am a dreadlocks man
who danced to tranced
in the gnarled notation between tones
which cut in folds
incomplete in a rap
when trumpet sound fussy
when snare was hit hard

That's when I became a discount
middle path of idealism and the market
then dissolved in harmony
between backflow of cacophony
I found an originality:
call to prayer from mosque, choir in the cathedral

Among nightmares of piracy
artist working for something to eat
when some people called a virtuoso
others cursed because of plagiarism
more bizarre is the fate of the musicians
popular because the innocent chord
may be idealistic but are not sell well

That is the story of the artists
who never stopped
in the world crowded coffee shop
gossiping all night long
some even exchange theories
how to cheat
but the fans still do not know

Therefore, it's worth when I doubt
perhaps there is no real history
except that a repeated story
in other forms and other names


PETAK UMPAT
—untuk Dr. Faruk

Faruk dan aku bermain kata

Pada teks aku sembunyi
ia mencariku dengan teori
aku muncul sebagai bukan
untuk mengelabuhi adalah-nya
tapi ia menemukanku
setelah membalik arah jalan pikiran

Faruk dan aku bermain kata
kami dipermainkan kata-kata

4/3/2003

HIDE AND SEEK
-for Dr. Faruk

Faruk and I play words

In the text I hide
he was looking for me with some theories
I appeared as a non
for his tricking ‘is to be’
but he found me
after turn over the direction of thought

Faruk and I play words
we are tricked by words

06 Juni 2011

Permaisuri Malamku (Ulasan Puisi)




Alhamdulillah. telah terbit buku puisi saya yang keempat, "Permaisuri Malamku" (diva Press, Mei, 2011). Buku ini merupakan hasil karya puisi selama kurang lebih 4 tahun. Puisi-puisi dalam buku ini bersifat tematik, yakni merupakan hasil kerja mengamati pemandangan langit malam Lihatlah, bintang-bintang yang berdenyar, mengubit, berkelap-kelip, tampak begitu indah seperti miliaran lampu yang menakjubkan. Mereka membutuhkan ratusan tahun cahaya untuk akhirnya tiba di dalam bola mata. Betapa jauh mereka berada. Betapa lama mereka menempuh perjalanannya, jarak yang sulit dibayangkan oleh satuan yang biasa ditempuh oleh manusia. Dan saya berusaha mengungkapkan ketakjuban itu dalam buku ini.

Tautan-tautan artikel yang membahas buku puisi ini:

  1. "Malam (Kyai) M. Faizi: Ketakjuban Astronomis (dan Astrologis?) Dalam Puisi" oleh Akhmad Nurhadi Moekri
  2. "M.Faizi, “Pemburu Malam” yang Meninggalkan Local Color", oleh Drs. Joko Supriyono, M.Pd.
  3. "Tinjauan Astrofisika Terhadap Permaisuri Malamku" oleh Muhammad Ali Fakih
  4. "Permaisuri Sang Kiai" oleh Malkan Junaidi
  5. "Cara Kiai yang Penyair Memperlakukan Puisi (Telaah atas Buku "Permaisuri Malamku" Karya M. Faizi)" oleh Moh. Ghufron Cholid
  6. "Malam dan Dua Rute Kepulangan" oleh Achmad Faqih Mahfudz

Tinjauan Astrofisika Terhadap Permaisuri Malamku

Oleh: Muhammad Ali Fakih[2]


Bahasa universal Astrofisika adalah gelombang elektromagnetik (EM) di mana cahaya hanya bagian di dalamnya, termasuk juga sinar-X, sinar ultraviolet, sinar infra merah, gelombang radio dan lain-lain. Semua benda langit mengisahkan dirinya kepada manusia lewat gelombang EM ini. Sementara, fisika dan matematika jadi juru bicaranya. Kita mengetahui objek-objek langit sepanjang objek-objek itu memancarkan gelombang EM. Objek langit yang panas seperti tumbukan materi dalam nebula atau Lubang Hitam (Black Hole) berkisah lewat pancaran sinar-X, embrio bintang (protostar) berkisah lewat sinar infra merah dan gelombang radio, sementara galaksi-galaksi berkisah lewat cahayanya yang bergeser ke arah merah (red shift).

Selain objek yang memancarkan sinar sangat pelik untuk sekedar berkisah sedikit tentang dirinya kepada kita. Misalnya materi gelap (dark matter). Materi gelap diduga adalah kumpulan dari lubang hitam yang karena saking kedap dan kuatnya gravitas yang dimilikinya, dark matter dapat memakan bintang-bintang yang ada di sekelilingnya. Seandainya ia tak memakan bintang-bintang itu, kita tidak akan pernah tahu sama sekali tentangnya. Setelah dilakukan penelitian, ternyata, objek-objek yang memancarkan cahaya hanya (baryonik) 4% materinya yang kita kenali, sementara sisanya adalah objek-objek non-baryonik yang meliputi 23% materi gelap dan 73% adalah energi gelap.

Dipilihnya Astrofisika sebagai tinjauan terhadap buku kumpulan puisi M. Faizi Permaisuri Malamku (Diva Press, Mei 2011) ini bukan tanpa alasan. Dalam antologi puisinya ini M. Faizi merenungi banyak hal tentang”langit”, termasuk juga renungan-renungan kecil perangkatnya (fisika dan matematika). Terhadap fenomena ”langit” antara Penyair dan Astrofisikawan berada dalam posisi yang sama dengan – tentu – cara tangkap yang beda. Bila Penyair menangkapnya dengan perasaan, Astrofisikawan dengan pikiran. Perasaan dan pikiran, barangkali, dua hal yang antipodal yang hanya bisa dipertemukan oleh apa yang disebut sebagai ”imajinasi”. Baik Penyair maupun Astrofisikawan ”mereduksi” realitas ”langit” dengan imajinasinya – apa yang ditangkap oleh kita terhadap sesuatu sangat mungkin tidaklah sama dengan sesuatu itu sesungguhnya. Yang membedakan dua sosok ini adalah cara ungkapnya. Jika Penyair mengungkapkannya lewat bahasa puitis, Astrofisikawan lewat bahasa fisis dan matematis.

Alam Raya dan Kosmologi

Pada sajak Surat Cinta untuk Malam, bait kedua, M. Faizi menulis:

Saya berdiri di bawah kubah langit

Sementara di Pleiades Menjengkal bait ketiga:

Di bawah kubah besar ini

Dengan menyatakan langit seperti sebuah kubah (boleh kubah masjid atau kubah katedral) Penyair – jika ini benar – mengandaikan alam semesta seperti sebuah bola dan kita hidup di dalamnya. Jika kita berada tepat di tengah-tengah dalam bola tersebut, ketika memandang ke atas, langit tentu berbentuk seperti kubah. Jika betul demikian, maka M. Faizi secara tidak sadar sedang berusaha mengikuti tesis kaum Astrofisikawan modern yang menyatakan bahwa ruang alam semesta berhingga, sebagaimana juga ruang bola yang berhingga: ada ruang di dalam dan ada juga ruang di luar. Oleh Astrofisikawan lainnya, diajukanlah sebuah pertanyaan filosofis dan pelik, jika ruang alam semesta berbatas, lalu apa di luar batas itu? Adakah ruang lain di luar ruang alam semesta kita? Jika ada, ruang apa itu dan bagaimana sifat-sifat fisisnya?

Pada tahun 1922, ahli fisika Rusia, Alexander Friedman, memecahkan persamaan medan gravitasi yang diciptakan oleh Albert Einstein pada 1916, yakni Teori Relativitas Umum (TRU). Rumusan yang kini dikenal sebagai Model Jagad Raya Friedman itu menunjukkan bahwa struktur alam semesta tidaklah statis dan bahwa impuls kecil pun mungkin cukup untuk menyebabkan struktur keseluruhan alam semesta mengembang atau mengerut. Berdasarkan rumusan ini, Astrofisikawan Belgia, George Lemaitre, menyatakan bahwa alam semesta mempunyai permulaan, dari satu titik tak berdimensi (singularitas), mengembang sampai ke entah. Dan pada 1929, Astronom Amerika, Edwin Hubble yang bekerja di Observatorium Mount Wilson California, membuat penemuan paling penting dalam sejarah kosmologi. Ketika mengamati sejumlah bintang melalui teleskop raksasanya, dia menemukan bahwa sinar bintang-bintang bergeser ke arah ujung merah spektrum. Menurut aturan fisika, spektrum berkas sinar yang mendekati titik observasi (bumi) cenderung ke arah ungu, sementara spektrum berkas sinar yang menjauhi titik observasi (bumi) cenderung ke arah merah. Pengamatan Hubble ini menunjukkan bahwa benda-benda angkasa semakin lama semakin menjauh dari kita (di bumi).

Tidak lama kemudian, Hubble membuat penemuan penting lagi: bintang-bintang tidak hanya menjauh dari bumi, tetapi juga saling menjauh satu sama lain. Makna penemuan ini adalah bahwa alam semesta mengembang, persis seperti yang telah dirumuskan oleh Friedman dan kemudian ditafsirkan oleh Lemaitre tujuh tahun sebelumnya. Jika alam semesta semakin besar sejalan dengan waktu, jika mundur ke masa lalu berarti alam semesta semakin mengecil, mengecil, menjadi satu titik tak berdimensi sehingga volumenya nol karena tarikan gravitasinya yang sangat besar. Titik tak berdimensi itulah yang memuat seluruh isi, massa dan energi alam semesta yang kita saksikan hari ini. Ketika volume alam semesta nol, apa yang kita sebut sebagai ketiadaan segalanya, tidak boleh tidak, harus diterima. Jadi alam semesta, menurut mazhab ini, muncul dari sebuah ledakan massa luar biasa. Titik tak berdimensi itu meledak, sesuatu yang kini disebut sebagai Dentuman Besar (big bang), kemudian berekspansi (mengembang) secara massif hingga saat ini.

Alam semesta mengembang barangkali persis seperti balon udara yang ditiup. Pertanyaannya adalah, bila setiap yang mengembang membutuhkan ruang untuk pengembangannya, lalu ruang apa yang ditempati ruang alam semesta ini untuk mengembang? Adakah ruang di sana kehidupan? Apakah ruang di sana juga mengembang? Jika mengembang, ruang apa yang dijadikan tempat pengembangannya? Begitulah pertanyaan-pertanyaan filosofis kaum Astrofisikawan penentang teori keberhinggan alam semesta. Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin lebih menjurus ke arah mistik, tetapi ini penting dijawab. Hanya saja sayangnya, kaum fisikawan masih belum mampu menjawabnya. Mereka juga tidak mampu menjawab pertanyaan bahwa jika alam semesta berasal dari ketiadaan, bagaimana alam semesta itu kemudian ada dalam bentuk titik singularitas? Jika setiap adanya sesuatu adalah karena ada yang menciptakannya, siapa yang menciptakan alam semesta ini? Ini merupakan pertanyaan tersulit untuk dijawab oleh para fisikawan, sebab menurut mereka, Tuhan bukanlah hipotesis yang menguntungkan secara fisis.

Dalam sajak Bagaikan Supernova M. Faizi menulis:

nyawa, semisteri antariksa-kah engkau?

Menurut ilmuwan Astrobiologi, nyawa manusia ”berasal dari antariksa”. Ceritanya begini. Pada terbentuknya tata surya awal, sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu, proto-bumi (”bayi” bumi) yang masih belum diselimuti atmosfer ditumbuk oleh benda-benda antariksa seperti komet dan asteroid. Komet yang komposisi terbesarnya adalah es (20% dari massanya) diduga kuat merupakan sumber air bagi bumi, karena rasio deutronium/hidrogen di komet hampir sama dengan rasio deutorium/hidrogen air di bumi, yaitu sekitar 0,0002. Komet yang berdiameter 10 km mempunyai massa total sekitar 500 miliar ton, dengan 20%-nya mengandung air sekitar 100 miliar ton. Sedangkan massa total lautan saat ini sekitar 1,3 juta triliun ton, yakni kira-kira setara dengan 10 juta komet berdiameter 10 km.

Sementara itu, radiasi matahari muda sedang melakukan tugasnya, yakni menimbulkan fenomena cuaca, pembentukan awan dan halilintar di bumi. Atmosfer bumi yang terbentuk oleh unsur pemanasan dari dalam bumi (endogen) dan pemanasan dari luar (ekstrogen) mengolah fenomena tersebut dengan baik. Melimpahnya air laut dan kondisi atmosfer purba yang kawa gas metana (CH4) dan asam amoniak (NH3) yang belum mengandung oksigen bebas, dengan bantuan halilintar, diduga menjadi awal kelahiran senyawa organik (makhluk bernyawa). Senyawa organik yang mengikuti aliran air akhirnya tertumpuk di latu. Maka, asal-muasal kehidupan diduga dimulai dari laut.

Senyawa-senyawa organik ini kemudian mengatur diri menjadi sel tunggal. Makhluk bersel tunggal yang ada di laut (air) adalah amoeba. Lalu makhluk-makhluk bersel banyak tercipta pula sedemikian sehingga tercipta tumbuh-tumbuhan yang karena proses fotosintasisnya sekitar 2 miliar tahun yang lalu menyebabkan atmosfer bumi mulai terisi dengan oksigen bebas yang membuat bumi perfect oleh hunian makhluk hidup. Manusia diduga juga tercipta oleh sel-sel yang membentuk dan menyusun diri secara cerdas. Pertanyaannya adalah, betulkan proses ”terciptanya nyawa” demikian adanya? Wallahua’lam bisshawab.

Dalam sajak Bagaikan Supernova M. Faizi juga menulis:

Supernova, supernova!

aku memanggil, menggigil

karena itu yang sedikit kutahu

yang cemerlang jelang tiada

Supernova adalah sebuah proses akhir dari kematian bintang (termasuk juga matahari kita, sebab matahari juga termasuk bintang). Bintang bisa bersinar karena adanya reaksi fusi nuklir di intinya. Yang berfusi (bergabung) adalah unsur hidrogen (bahan bakar bintang) yang menghasilkan energi nuklir sedemikian sehingga bintang dapat bersinar. ”Sampah” dari proses fusi itu menjadi unsur helium. Pada masanya hidrogen di inti bintang akan habis menjadi helium, bintang akan mati. Akhir kehidupan bintang tergantung pada massa dan keadaan fisiknya. Ada bintang yang mengakhiri hidupnya dengan meledakkan diri, dan ini yang dinamakan fenomena supernova. Ada pula yang melepaskan materi-materinya ke angkasa, hingga akhirnya menjadi bintang katai putih. Matahari kita, menurut penelitian, tergolong bintang yang akan mengakhiri hidupnya dengan cara yang kedua. Karena supernova adalah akhir riwayat bintang, bagaimana nantinya dengan bumi bila matahari sudah mati? Apakah kala itu bumi sudah kiamat atau belum?

Ruang-Waktu dan Relativitas

Pada sajak Surat Cinta untuk Malam, M. Faizi menulis:

kecil bukan pada wujud

tetapi pada mata orang yang memandang

Sementara pada sajak Berjalan di Malam Hari di tulis:

wujudku pecah menjadi dua:

diri yang diam, diri yang berjalan

Dalam teori fisika Newtonian, ruang dan waktu dianggap sebagai dua entitas yang berbeda dan absolut. Benda yang panjangnya 1 meter, tetaplah ia satu meter, baik diamati oleh orang yang diam terhadapnya maupun yang bergerak terhadapnya. Dua jam yang menunjukkan angka yang sama (misalnya 12.00) akan tetap sama meski yang satu ada di bumi dan lainnya di bawa orang ke antariksa. Pada awal abad ke-20, dalam pengamatannya terhadap sinar kosmik yang berhasil menembus atmosfir bumi, fisikawan menemukan fenomena aneh dan tak terduga terhadap sebuah partikel yang kemudian disebut muon yang ikut bersama sinar kosmik itu. Menurut pengamat di bumi, muon meluruh di atas permukaan laut, sedangkan pada kenyataannya muon justru meluruh ketika sampai di laut. Fenomena ini tidak dapat dipecahkan melalui prinsip fisika klasik. Maka kemudian muncullah fisikawan semacam Albert Einstein dan Henri Poincare dengan menggunakan hasil kerja Henrik Lorentz untuk memecahkan paradoks ini sehingga selang beberapa tahun kemudian, muncullah prinsip fisika baru yang dinamakan Teori Relativitas Khusus (TRK). Mengenai siapa pencipta TRK menjadi perdebatan pelik di antara fisikawan. Pada tahun 1900, Poincare berhasil menemukan TRK, diajukan ke Lorentz tahun 1904 dan dipresentasikan pada 5 Juni 1905 pada pertemuan rutin Akademi Ilmu Pengetahuan Perancis. Tetapi pada 1905 dalam makalah TRK-nya Einstein tidak membubuhkan sedikit pun nama Poincare, padahal rumusannya persis sama dengan rumusan Poincare. Entahlah, mengapa sekarang semua fisikawan menganggap penemu TRK itu adalah Einstein, padahal rumusan teoritik yang kita pakai saat ini adalah rumusan Poincare. ET. Whittaker, salah seorang matematikawan terbesar Inggris, menganggap Loretz dan Poincare sebagai penemu sejati TRK.

Menurut TRK, panjang dan waktu tidaklah absolut, tetapi relatif, tergantung kepada pengamatnya. Menurut pengamat yang diam terhadap benda yang panjangnya 1 meter, panjang benda itu 1 meter, tetapi menurut pengamat yang bergerak relatif terhadap benda itu terlihat lebih pendek (konsep ini dinamakan kontraksi panjang). Begitu pula, jam yang dibawa oleh orang ke antariksa, jika kita menganggap kecepatan pesawatnya hampir secepat cahaya, akan terlihat lebih lambat ketimbang dengan jam yang dipegang oleh orang di bumi (konsep ini dinamakan dilatasi waktu). Ini hanya sekedar contoh bebas semata, sementara secara teoritik tidaklah segampang demikian, meskipun hasilnya akan sama. Jadi jarak pengamat terhadap alam fisis, bagi TRK, sangat mempengaruhi terhadap pemehamannya terhadap alam fisis yang diamatinya. Apakah konsep ini menyimpang dari tujuan ilmu fisika yang mensyaratkan memberi keterangan yang tunggal terhadap suatu fenomena alam fisis? Tidak. TRK telah membuktikan bahwa hukum-hukum fisika harus sama-sama dimiliki bagi semua pengamat, baik yang diam terhadap benda maupun pengamat yang bergerak relatif terhadapnya.

Lihatlah betapa dua penggal sajak Surat Cinta untuk Malam M. Faizi di atas amat sesuai dengan konsep dan prinsip TRK. Apakah M. Faizi terlebih dahulu memehami relativitas atau tidak, ini tidak penting, sebab pemahaman akan hal ini merupakan gejala alam yang hanya dapat ditangkap oleh orang-orang cerdas semacam Einstein, Poincare dan tentu juga M. Faizi. Lebih lanjut, menurut TRK, pernyataan ´saya pergi ke sekolah´dengan ´sekolah pergi ke saya´atau ´bumi bergerak mengelilingi matahari´dengan ´matahari bergerak mengelilingi bumi´adalah setara. Kedua pernyataan ini mengandung arti yang sama. Bagi orang di bumi, dia akan menganggap matahari bergerak mengelilingi bumi, sementara bagi orang di matahari, dia akan menganggap bumi bergerak mengelilingi matahari. Tetapi kalau kita lebih mendukung Copernicus dengan Heliosentrinya yang kemudian dikonvensi oleh Newton berarti kita mengasumsikan gerak yang mutlak (ruang dan waktu absolut), yang tentunya hanya sebuah fiksi bagi Einstein ataupun Poincare. Hanya saja dalam ilmu astronomi, lebih mudah apabila kita menganggap mataharinya yang diam daripada kalau kita menganggap buminya yang diam, persis sebagaimana sebuah perhitungan menjadi lebih mudah kalau menggunakan bilangan desimal. Semua gerak itu relatif, dan semata-mata merupakan masalah konvensi untuk menganggap benda itu sebagai yang diam ataupun bergerak. Lihatlah bagaimana M. Faizi menampilkan konsep filosofis ini dalam dua larik puisi Berjalan di Malam Hari di atas. Hal yang nampak menggelitik ditampilkan oleh M. Faizi dalam sajak Mertajasa:

Dalam hukum ruang-waktu, kami di sisimu

tanpa benar-benar tahu

karena dekat dan jauh

menyatu, menjadi satu, dalam rahasiamu

Bagi saya, puisi ini bersifat metafisik. Tetapi marilah kita bawa ke dalam dunia fisik, meski barangkali apa yang dimaksud hukum ruang-waktu oleh M. Faizi dalam puisi ini tidak benar-benar berpijak pada konsep ruang-waktu fisikal. Pertanyaannya, mengapa M. Faizi menggunakan diksi ´ruang-waktu´, bukan ´ruang dan waktu´? Bagi kaum fisikawan, diksi tersebut menimbulkan problem dan implikasi filosofis . ´Ruang-waktu´ cocok dengan fisika modern, sedangkan ´ruang dan waktu´ cocok dengan fisika klasik. TRK sendiri pada dasarnya adalah sebuah revolusi pemikiran tentang ruang-waktu. Pada fisika klasik, baik ruang maupun waktu dianggap entitas yang berbeda dan memiliki spesifikasi fisik yang cocok dengan common sense. Misalkan kita ingin mengatakan di mana dan kapan suatu peristiwa terjadi - misalnya pesawat terbakar - maka harus menyebut empat besaran: garis lintang, garis bujur, ketinggian di atas bumi, dan waktu. Menurut pandangan tradisional, tiga besaran pertama (disebut coordinat Cartesian, sesuai dengan penemunya Rene Descartes) menunjukkan posisi di dalam ruang, sedangkan besaran keempat menunjukkan posisi di dalam waktu. Fisikawan klasik lebih banyak mempersoalkan metode untuk mengukur posisi dalam ruang, sementara mereka menganggap waktu bersifat absolut, universal, tak terpengaruhi oleh pengamat. Jadi, jika pesawat itu terbakar pukul 12.00, maka baik oleh pengamat di bumi maupun pengamat yang ada di bintang Sirius sama saja, yakni pukul 12.00. Sehingga karenanya tidak ada alasan bagi fisikawan klasik mengotak-atik konvensi waktu ini. Metode untuk menetapkan posisi dalam ruang dan metode untuk menetapkan posisi dalam waktu sepenuhnya dapat dilakukan secara terpisah satu sama lain. Karena alasan inilah, konsepnya disebut `ruang dan waktu´.

Sementara bagi fisikawan relativistik, hal itu harus ditolak, karena bagi dua pengamat - yang diam terhadap benda dan yang bergerak relatif terhadapnya - suatu peristiwa memiliki pengukuran yang berbeda, baik coordinat Cartesiannya maupun waktunya. Misalnya, bagi orang di bumi, sinar matahari yang dirasakannya pada pukul 10.08 adalah sinar matahari pada saat itu. Padahal bagi orang di matahari, sinar itu dirasakannya pukul 10.00. Dari sini dianggap bahwa ruang yang satu membutuhkan pengukuran waktu yang berbeda dengan waktu pada ruang yang lain. Apabila kita mengubah cara pengukuran posisi terhadap ruang, maka kita pun juga dapat mengubah selang-waktu di antara dua peristiwanya. Oleh sebabnya, konsep fisika TRK bukanlah `ruang dan waktu`, tetapi `ruang-waktu´. Apakah yang dimaksud oleh M. Faizi dalam sajaknya Mertajasa itu sesuai dengan TRK atau tidak, saya tidak tahu. Kalau `kami´dalam sajak itu dianggap sebagai pengamat, sementara ’mu’ adalah yang diamati, larik `dekat dan jauh/ menyatu, menjadi satu, dalam rahasiamu` menjadi jelas bahwa yang diamati adalah rahasia dari sebuah pengamatan. Dalam hukum ruang-waktunya M. Faizi, `dekat dan jauh` bukanlah sebuah konsep fisis sedemikian sehingga `kami` berada `di sisimu`menjadi nyata dan `tak benar-benar tahu`satu sama lain. Demikianlah sekedar penafsiran saya, selebihnya ada di pihak pembaca, dan selebihnya lagi, tentu secara agregat ada diri M. Faizi sendiri.

Cahaya dan Fisika Kuantum

Pada sajak Lembar-Lembar Cahaya, M. Faizi menulis:

Lembar-lembar cahaya

dibuka satu demi satu

menyibak rahasia

ke rahasia berikutnya

Cahaya adalah sesuatu yang karenanya kita dapat melihat, menerka dan berpikir tentang `sesuatu yang lain`. Tanpa cahaya, mungkin kita hanya tahu bahwa kita bernafas, punya tubuh yang seperti tangan, kaki dan sebagainya, dan selebihnya kita tak tahu apa-apa. Jika demikian, apakah makna hidup tanpa cahaya? Tanpa cahaya, mungkinkah kita bayangkan akan ada hidup seperti yang kita lihat sekarang? Tidak. Rahasia alam raya ke rahasia alam raya berikutnya - demikian pula alam manusia - dibuka oleh cahaya. Bahkan tanpa cahaya kita tidak akan pernah bisa hidup, karena secara biologis, berfungsinya sistem kehidupan di alam semesta ini sangat tergantung pada eksistensi cahaya. Di dalam konsep fisika optik, fungsi mata adalah menangkap cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda. Berarti tanpa cahaya, kita buta pada segala. Kira-kira prosesnya seperti ini: cahaya menumbuk benda, lalu benda meneruskan cahaya itu ke mata kita sehingga kita dapat melihat benda itu. Jika ditilik dari konsep fisika optik, bait pertama sajak M. Faizi yang berjudul Permaisuri Malamku yang bertuliskan `Kerlip mata malammu/ jumpalitan jatuh ke cahaya mukaku` bisa saja menjadi salah. Bukan `cahaya mukaku`yang dapat menangkap `mata malammu`, tetapi `cahaya mukaku`yang dapat ditangkap oleh `mata malammu`. Secara fisis, muka tidak pernah mengeluarkan cahaya (hal ini tentu dikecualikan dengan kejadian yang luar biasa yang terjadi pada beberapa orang, misalnya, para wali yang biasa disebut sebagai karomah). Apabila sajak tersebut bermakna lain, saya tidak tahu. Lalu dalam sajak Bulan Kadru di Jumantara, M. Faizi mempertanyakan:

apakah cahaya itu materi?

dari manakah asal-muasal cahaya?

Pertanyaan ini telah menjurus pada konsep Fisika Kuantum, saudara dekat TRK, yang kurang-lebih membahas tentang cahaya secara lebih teliti. Untuk pertanyaan pertama, fisikawan kuantum akan menjawabnya: ya, cahaya itu materi. Nama materi dari cahaya adalah foton (A. Einstein yang memberikan nama itu). Lebih jelasnya, cahaya adalah gelombang sekaligus materi, sehingga konsepnya sekarang dikenal sebagai dualitas gelombang-materi. Fisika klasik yang mencerminkan `kenyataan fisis`memperlakukan partikel dan gelombang sebagai komponen yang terpisah, oleh karenanya ilmu Mekanika Partikel dengan Mekanika Gelombang terbedakan. Tetapi konsep tradisional ini dilabrak oleh sederet fisikawan modern pencipta Fisika Kuantum, seperti Max Plank, A. Einstein, Erwin Schrodinger, Werner Heisenberg, Neils Bohr dan Lois de Broglie. Menurut mekanika kuantum, dalam skala mikroskopik dari atom dan molekul serta elektron dan inti secara umum atau foton secara khusus, memiliki sifat gelombang sekaligus juga sifat materi. Kita menganggap elektron memiliki muatan dan massa dan berprilaku menurut hukum Mekanika Partikel. Namun demikian, dalam banyak eksperimen didapatkan bahwa elektron memperlihatkan gejala difraksi, interferensi dan polarisasi sebagaimana juga gelombang elektromagnetik. Oleh sebab itu, kita dipaksa menafsirkan elektron yang bergerak sebagai suatu manifestasi gelombang dan berprilaku menurut hukum Mekanika Gelombang. Pada tahun 1924, dalam tesis doktornya, de Broglie berhasil menerangkan dualitas gelombang-materi benda, termasuk juga foton, sehingga karenanya pada 1929 dia mendapatkan hadiah Nobel.

Untuk pertanyaan kedua, yakni tentang asal-usul cahaya, juga telah dijawab oleh fisikawan kuantum. Menurut teori elektromagnetik, muatan listrik (elektron) yang dipercepat akan meradiasikan gelombang elektromagnetik (cahaya tampak adalah bagian kecil dari gelombang ini). Jadi, jika elektron yang geraknya dipercepat maupun diperlambat akan menghasilkan cahaya. Gejala ini dinamakan bremsstrahlung. Eksperimen efek fotolistrik oleh Einstein, Sinar-X oleh Roetgen dan efek fotolistrik-balik oleh Compton membuktikan fenomena ini. Gampangnya begini: kita tahu bahwa kabel listrik terdiri dari susunan atom. Sementara dalam struktur atom, ada inti atom yang terdiri dari proton dan neutron, serta elektron mengelilingi inti tersebut sebagaimana planet-planet mengelilingi matahari - ini disebut sebagai model atom Niels Bohr. Orbit-orbit elektron memanifestasikan energinya. Elektron yang lebih dekat dengan inti energinya lebih rendah ketimbang yang lebih jauh dari inti atom. Ketika diberikan energi potensial (misalnya kabel listrik dihubungkan dengan alat pada voltage yang tinggi), elektron pada orbit yang rendah energinya terpantul ke orbit yang lebih tinggi energinya. Dengan demikian, untuk kembali ke orbit semula, si elektron itu harus membuang energi agar sesuai dengan energi orbitnya semula itu. Pada saat pembuangan energi ini, gejala bremsstrahlung terjadi. Energi yang terbuang tersebut kemudian menjelma sebagai cahaya. Maka tidak heran bila kita memberikan voltage yang tinggi terhadap kabel listrik akan muncul loncatan-loncatan cahaya. Gejala ini tidak hanya terjadi pada kabel listrik semata, tetapi juga terhadap matahari dan bintang-bintang serta segala sesuatu yang merupakan entitas penghasil cahaya. Demikianlah kira-kira cahaya berasal.

Penutup

Ulasan di atas hanya sekedar tinjauan singkat yang lebih bersifat sembarang. Puisi kadang lebih enak dibaca ketimbang ditafsirkan atau diulas, meskipun isi dan maknanya tidak dapat dimengerti. Puisi tidak memerlukan distingsi yang alot sebagaimana ilmu Astrofisika misalnya. Tetapi terhadap fenomena ”langit” sepertinya antara Penyair dan Astrofisikawan tidaklah jauh berbeda. M. Faizi melukiskan hal ini dengan sangat gemulai dan genit dalam sajaknya yang bertajuk Surat Cinta untuk Malam:

Pendar gugus bintang semesta raya

jika engkaulah alamat kebenaran

maka perkenankan

sepanjang hidupku menjadi malam

Wallahua’lam Bisshawab.***

Krapyak Yogyakarta, 19 Mei 2011



[1] Dipresentasikan pada acara bedah buku kumpulan puisi M. Faizi Permaisuri Malamku (Diva Press, Mei 2011) pada tanggal 21 Mei 2011 di Gedung Teatrikal Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

[2] Mahasiswa Jurusan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta angkatan 2007 dan penggiat Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta. Sajak-sajaknya sedikit dimuat di media massa dan antologi puisi bersama Mazhab Kutub (Pustaka Pujangga, 2010).

Malam (Kyai) M. Faizi: Ketakjuban Astronomis (dan Astrologis?) Dalam Puisi [1]


Oleh: Akhmad Nurhadi Moekri, mantan ketua Lesbumi NU Sumenep.


Kritikus tidak menulis puisi
bersama kata-kata, ia bersayap , terbang di dahi penyair
tapi, langit mereka begitu sempit
ketika puisi jadi kehidupan sehari-hari
(Kata dan Peristiwa)

Saya senang membaca Permaisuri Malamku, Rumah Bersama, Sareyang, atau bahkan Delapanbelas Plus, walaupun judul yang saya tulis berakhir itu sebetulnya belum pernah saya baca. Saya memang senang membaca (Kyai) M. Faizi. Alasannya tentu saja banyak, tetapi alasan yang paling urgen adalah karena ketika saya membaca (Kyai) M. Faizi yang terbaca adalah (Kyai) M. Faizi, bukan D. Zawawi Imron, bukan pula Subagio Sastrowardoyo, Piek Ardijanto Soepriadi, atau Martin Jankowski, apalagi Akhmad Nurhadi Moekri, he, he. Makan kaldu terasa kaldu. Bukan makan rujak terasa hotspot, eh! hotdog!

‘Malam’ sebagai potensi maupun esensi, denotasi, konotasi, bahkan arti simbolik—dalam jagat puisi—sering digali Penyair. Tidak kurang dari Subagio Sastrowardojo telah melahirkan: Leiden 4/10/78 (Malam) dan Malam Penganten; Piek Ardijanto Soeprijadi telah menghadirkan: Pelabuhan Malam, Lelaki Malam, Dingin Malam; atau Martin Jankowski: Vollmondnacht an der Kuste van Bali (Malam Purnama di Pantai Bali), belum lagi dalam jagat drama dan prosa.

Namun demikian, ‘malam’ sebagai tema sentral hadir—sejauh penelitian Penulis—hanya dalam antologi Permaisuri Malamku oleh (Kyai) M. Faizi. Pak Kyai muda yang penyair, dan tentu saja bersarung dan berkopiah hitam tinggi. Sosok yang terlalu sederhana untuk pribadi cerdas dan unik. Sama sederhananya dengan puisi-puisinya yang arif dengan kedalaman intelektual mamadai.

Kesederhanaan yang kaya. Betapa kita disuguhi kata, frasa (idiom), klausa, atau kalimat dengan standar baku. Kita perhatikah kutipan larik-larik berikut: “//Kilatan cahaya yang berpendar/ hidup dan berdenyar/...” (Surat Cinta untuk Malam); “//kelip mata malammu/jumpalitan jatuh ke cahaya mukaku//” (Permaisuri Malamku); “//Gemersik pikiran/melayang-layang/menimbuni kesadaranku,.../” (Berjalan di Malam Hari); “/Namaku malam/kepingan waktu yang membentuk subuh/...” (Namaku Malam); dan banyak lagi. Baris-baris tersebut menampilkan pola kalimat: S-P (Subyek-Predikat), kalimat sederhana dengan diksi sederhana pula. Tentu saja kesederhanaan yang kaya makna. Makna perjalanan spiritualitas dan kepenyairan versi (Kyai) M. Faizi.

Perjalanan sampai (atau dimulai dari) pada pengamatan pemandangan langit malam dengan segala fenomena: Galaksi, massa, kecepatan cahaya, gelap, langit, sunyi, dengan segala macam fenomenanya (inherent: alam, manusia, Tuhan).

Betapa mempesonanya ‘malam’ sampai-sampai Penyair mengirimkan Surat Cinta untuk Malam yang dibuka dengan bait:”//Kilatan cahaya yang berpendar/redup dan berdenyar/seperti jantungku mengatup dan mekar/perkenalkan, aku bernama malam//...” (Surat Cinta untuk Malam). I don’t know why Kadek Krishna Adidharma menerjemahkannya menjadi Love Poem to Night. Dalam bahasa Indonesia terdapat perbedaan yang signifikan antara peom ‘puisi’ dengan letter ‘surat’. Yang jelas keterpesonaan kepada ‘malam’ tetap mengental sepanjang puisi dalam antologi ini.

Pesona malam juga mengusik kesadaran Penyair—dan tentu saja menyadarkan kita—akan keterbatasan diri (dan manusia pada umumnya) terasa pada: “ .../aku menakar batas akhir kemampuanku/menjangkau sumber cahaya//” (Permaisuri Malamku); Juga : “/...aku sampai tak mampu /mencapai titik pertemuan cipta/saat gelap berjumpa cahaya//” atau: “//Supernova, Supernova/aku memanggil menggigil/karena itu yang sedikit kutahu/yang cemerlang jelang tiada//” (Bagaikan Supernova). Kemampuan pengamatan (alamiah) manusia terbatas. Demikian juga pemikiran (ilmiah), maupun perenungan (spiritualitas dan seni).

Walhasil, pesona ‘malam’ membangunkan kearifan diri, kejelian dalam melihat isi (baca: esensi, substansi, hakikat, dsb.). Penyair sampai pada: “/...ia yang cemerlang/menang tanpa pertandingan/” (Tong-Batong); atau: “/...di masa kini/yang terang oleh ilmu dan iman/tetapi digelapkan oleh takabur dan tipu daya//” (Sejenak ke Dulukala); Sikap arif dalam menyikapi benturan tradisi hisab dan rukyat dalam penentuan awal bulan Romadhon: “/Menjelang bulan ramadhan/menghitung dan melihat/bersading di atas peterana/untuk sama-sama sepakat/setia, mencintai dan taat/dalam keadaan serba terbatas/” (Menunggu Hilal); Pada akhirnya sampai pada: “//Fana, fana, fana/sebab yang baka/hanyalah untuk Yang Esa//” (Rukyatul Hilal).

Antologi Permaisuri Malam memang buku kumpulan puisi, bukan astronomi apalagi astrologi. Oleh karenanya ia juga memuat sikap kepenyairan yang dianut Penyair tentang hakikat puisi: “.../penyair membalik penaka jadi nirsama/untuk puisi//...” (Ting). Penyair sebagai kreator semu dapat saja menciptakan dunia (puisi)nya sendiri, bahkan menciptakan peristiwa: “.../sebab itulah Dimyar menulis puisi/karena sebetulnya ia menciptakan peristiwa/yang hilang saat tidak dibaca/” (Kata dan Peristiwa), atau puisi adalah fakta itu sendiri: “/...di layar komputer/bintang-bintang berdenyar menjadi puisi/” (Menunggui Malam), hingga Penyair (ikut) memutuskan: Ancestor of Science adalah puisi: “//experience and imagination/poem and it’s metaphor/represent our ancestors/ancestor of science/” (Ancestor of Science ‘Nenek Moyang Ilmu Pengetahuan’). Sikap kepenyairan ini juga diperlukan dalam rangka lebih memahami puisi-puisi (Kyai) M. Faizi.

Sesederhana apa pun puisi (Kyai) M. Faizi, tapi ia telah mampu memperkaya khazanah wawasan puitik—juga estetik—saya (dan kita), termasuk di dalamnya kekayaan fakta, konsep, atau prosedur dalam kosa kata: mengupak, penaka, nirsama, berdenyar, abid, ampai, malim, nalam, layas, dst. Untungnya Penyair cukup berbaik hati dengan mencantumkan Sari Kata dalam bukunya.

Demikian juga upaya menghadirkan beberapa puisinya dalam bahasa Inggris merupakan jawaban terhadap kebutuhan globalisasi yang kita hadapi saat ini. Syukur kalau antologi ini dapat terbit di luar negeri.

Langit malam memang fenomenal (sama fenomenalnya dengan langit siang). Kisah Ibrahim AS mencari Tuhan lewat kajian terhadap bintang-bintang, bulan, bahkan matahari. Kisah Muhammad SAW diisrokmikrojkan pada malam hari untuk menerima kewajiban sholat. Serta kisah-kisah lain dapat menjadi sumber ilham yang tidak akan pernah kering untuk digali.

Luar biasa! Penyair—dan kita semua—hidup di bumi, planet mungil yang terselip di antara milyaran galaksi. Kesadaran ini digetarkan kembali oleh puisi-puisi (Kyai) M. Faizi. Subhanallah wallahu akbar!

Sumenep, 13 Mei 2011



[1] Disampaikan pada acara Bedah Buku Permaisuri Malamku oleh M.Faizi bertempat di Aula Asy-Syarqawi Annuqayah, Sumenep, pada 18 Mei 2011.

M.Faizi, “Pemburu Malam” yang Meninggalkan Local Color

oleh Drs. Joko Supriyono, M.Pd.


Pernyataan M. Faizi tentang kesukaannya dengan malam ditulis dalam pengantar antologi Permaisuri Malamku: “Saya sering bepergian di malam hari, naik sepeda motor ataupun menyusuri jalan setapak, berjalan kaki. Kegiatan-kegiatan ini pun akhirnya menciptakan hasrat tersendiri untuk menyalin emosi dan kedekatan saya terhadap suasana (langit) malam ke dalam puisi. Mati lampu (bukan pemadaman) secara mendadak yang sering terjadi di desa saya juga membantu melancarkan ilham, langsung dari langit malam penuh bintang” Malam menjadi sangat istimewa sehingga menghasilkan puisi yang judulnya berbicara “malam” tak kurang dari 15 judul.

Permaisuri Malamku, menganggap malam adalah “kekasih” yang sangat dekat, sangat dalam dan sulit diterka maknanya, butuh perjuangan untuk memahaminya, butuh perih untuk menghargai nikmat

Seorang penulis, biasanya terpengaruh oleh warna kedaerahan berupa politik, adat, budaya, dsb. M. Faizi merupakan sosok lain yang lain, local color benar-benar tidak kelihatan dalam puisi-puisinya. Baik latar belakang daerah, maupun latar belakang agama yang sebenarnya sangat dominan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari. Memang ada puisi yang bersetting religius, tetapi tidak cukup kuat untuk mengatakan M. Faizi terpengaruh oleh keustadannya. Berbeda dengan penyair Madura yang sangat kondang, Abdul Hadi WM, yang warna kedaerahan (local color) nya sebagai wong pesisir sangat kental.

Ia lebih menonjolkan kode-kode budaya yang di setiap daerah ada. Kesamaan konteks budaya Madura, dengan Jawa , serta daerah lain yang melatarbelekangi puisi, mengisyaratkan bahwa puisi-puisi dalam kumpulan puisi ini go national. Bisa membumi di negeri bernama Indonesia. Larik-larik puisi ini membuktikan hal itu.

Lalu, ada kala seberkas cahaya

melintas tinggi di jumantara malam

membawa curiga dalam hati

“Itu cerawat yang dibawa setan

seseorang akan buncit perutnya

lalu meninggal dengan sengsara”

Malam, sebagaimana disebutkan dalam Alquran, menjadi saat tepat perjalanan setan, yang kadang akan menggoda dan memperdaya, serta diperdaya manusia, orang sering menyebutnya santet. Di Kalimantan ada kepala terbang yang konon memakan bayi. Makna cerawat mungkin setara dengan teluh atau santet? Semua yang terkait dengan itu, selalu ada unsur mistiknya, yang cenderung tidak baik (setan).

Pada puisi Lintang Kemukus di Langit Kota, saya berharap ada makna lokal mengenai Lintang Kemukus. Tetapi ternyata tidak saya dapati simbol budaya lokal pada judul ini. Maksud saya hendak saya sejajarkan dengan makna Lintang Kemukus di Jawa, yang arah sinarnya menunjukkan daerah yang akan terkena musibah. Lintang Kemukus kelihatan sangat terang di sepertiga malam terakhir.

Puisi berjudul Malam Gerhana, mengkonotasikan bahwa kejadian yang rutin itu makin meningkatkan keimanan penyair, meskipun masih ada foklore tentang Rahu dan Randa Kasihan. Dalam puisi ini tampak keustadan penyair mengalahkan makna, simbul, kode budaya. Dalam foklore Jawa, Gerhana bulan terjadi karena bulan dimakan Buta Ijo, maka diminta untuk menabuh tetabuhan yang ada agar bulan segera lepas dari mulut si raksasa. Mengawinkan dunia mistik (Rahu dan Randa Kasihan) dengan keimanan seorang ustad menjadi sesuatu yang dapat mempertebal keimanannya.

Satu puisi yang isinya sangat sederhana, rasional, berjudul Hantu Digital. Puisi ini hendak mengisahkan bahwa dengan adanya listrik tempat yang tadinya ditengarai ada hantu menjadi hilang. Orang mengatakan hantunya takut listrik. Listrik identik dengan teknologi. Perkembangan teknologi bisa menggeser hal-hal mistik ke rasional.

Sejak semua sudut jadi terang

Hantu pun jarang diceritakan

Inilah catatn saya yang tentunya masih sangat dangkal, berhubung saya baca puisi-puisi ini sehabis Jumatan kemarin. Isi ulasan yang pendek ini saya harapkan bisa menimbulkan bahan diskusi. Ada beberapa catatan tentang

1. Cerawat

2. Rahu

3. Randa kasihan

Atau menanyakan sekitar proses kreatif penyair. Yang jelas saya menyimpulkan antologi ini bisa dijadihan bahan ajar di sekolah. Tidak ada muara politis, sara, etika. Sebaliknya, bisa membangun karakter siswa.

-------------------------------

*) tulisan ini disampaikan dalam diskusi buku "Permaisuri Malamku karya M. Faizi" di Rumah Buku Dunia Tera, desa Borobudur, Magelang, 22 Mei 2011.

**) Joko Supriyono, pernah aktif dalam giat sastra dan budaya melalui INSANI (rubrik Sastra Budaya harian Masa Kini) , pernah menulis puisi, menulis cerpen, menulis kritik, catatan budaya, pernah jadi wartawan, pernah didaulat Ketua Komisi Sastra, Dewan Kesenian Kabupaten Magelang (akhirnya bubar sendiri), masih menjadi guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 3 Muntilan. Alamat : Kutan, Sedayu, Muntilan, Kabupaten Magelang. CP: 081328187186