05 Agustus 2008


PESANTREN SEBAGAI IKON PENDIDIKAN NONFORMAL

Oleh M. Faizi

Untuk memberikan gambaran umum atas tulisan saya, anggaplah sebagai abstrak, perlu saya awali tulisan ini dengan sebuah anekdot seputar hubungan kiai-santri. Anekdot ini, meskipun tidak semua redaksi bahasanya ditulis apa adanya, sedikitnya menggambarkan hal-hal yang terjadi secara khas dalam suatu hubungan di lingkungan pesantren.

Cerita datang dari Probolinggo.

Pada suatu hari, almaghfurlah Kiai Zaini Mun’im (Paiton) menugaskan salah seorang santrinya pergi ke kota Kraksaan, sebuah kota kecamatan yang terletak kurang lebih 8 kilometer ke arah barat, untuk sebuah keperluan.

Kebetulan, santri tersebut—sebut saja namanya Khadim—merupakan salah seorang pelayan di ndalem Kiai Zaini. Dengan segala ketundukannya, ketika ada perintah, Khadim langsung bergegas tanpa menyanggah.

Saat tiba waktunya, Kiai Zaini memanggil Khadim. “Ini, kamu bawa!” kata Kiai Zaini sambil mengeluarkan kuda dan menyerahkannya kepada Khadim. Seraya menundukkan kepala, Khadim menuntun kuda itu. Di kejauhan, Khadim dan kudanya menghilang dari pandangan di tikungan.

Tetapi, apa sebetulnya yang terjadi?

Khadim menuntun kuda itu dari Paiton sampai Kraksaan. Bukannya Khadim tidak dapat menunggang kuda, melainkan karena perintah kiai yang ia terima adalah: “membawa” kuda, ia tidak diperintah untuk menungganginya! Khadim rela pergi-pulang berjalan kaki sambil menuntun kudanya sejauh 16 kilometer hanya karena sebuah faktor: cangkolang!

Cangkolang (bahasa Madura) merupakan salah satu matriks penting dalam tradisi pesantren yang mengistimewakannya dengan gaya kepemimpinan lembaga atau institusi pendidikan yang lain. Cangkolang, secara sederhana, dapat diartikan sebagai anti-lancang dan perasaan malu/sungkan untuk melakukan tindakan yang dianggap melangkahi otoritas orang tua (di pesantren: kiai). Cangkolang, yang oleh masyarakat pesantren ditalikan dengan faktor barokah, menjadi kesepakatan bersama sebagai aturan tidak tertulis. Pada akhirnya, cangkolang didasarkan bukan pada faktor sungkan/lancang semata, tetapi juga pada faktor barokah juga menjadi “teks yang tersembunyi” di baliknya.

Kisah di atas memang konyol. Tetapi, di balik kisah itu ada sebuah pesan, bahwa perintah guru (kiai) adalah segala-galanya. Selebihnya, betapa figur seorang kiai begitu kuat dan begitu wibawa di mata santrinya, yang setia mengabdi serta melayaninya demi mengharap barokah dari pengabdian itu sendiri. Tampaknya, tak ada perintah atau instruksi dari atasan mana pun yang sedemikian gagahnya mampu menyuruh orang lain tanpa imbalan material sedahsyat perintah seorang kiai kepada santrinya!

Memang, anekdot tersebut saya kutip dari teks berlatar Madura yang notabene mengenal dan mempraktekkan prinsip bhada pakon, bhada pakan (ada perintah, ada upah), tetapi ia tidak berlaku dalam hal pengabdian. Ia merupakan salah satu prinsip dalam pendidikan pesantren. Sebab, meskipun pengabdian juga mengharap “upah”, namun upah tersebut adalah tabungan akhirat: dalam bentuk barokah.

***

Ada anggapan yang muncul berdasarkan gejala umum di lapangan: satu hal yang menarik dari seorang santri adalah kepribadiannya. Tentunya, karakteristik khas di sini sebatas pada selera personal saja. Asumsi ini, tentu juga di mata kelompok yang sebagian itu, merupakan hal menarik: terutama untuk memunculkan silogisme tentang bentuk dan model pendidikan yang meraka jalani.

Dulu, jika saya bertemu dengan seorang walisantri yang hendak mengantar anaknya mondok ke pesantren, mereka selalu mengistilahkannya dengan “memperbaiki diri”, bukan mencari ilmu. Istilah “memperbaiki diri” kemudian disimplifikasi menjadi “tirakat”. Tirakat membutuhkan ketabahan dan perbaikan “akhlak” karena akhlak bersifat dinamis, tidak seperti “fitrah” yang paten dari sono-nya. Karena itu, ada ungkapan “akhlak terpuji” dan ada pula lawannya: “akhlak tercela”.

Santri seperti Khadim di atas mungkin sama sekali tidak tahu, atau tidak mau tahu-menahu, dengan hal itu. Santri seperti mereka berangkat ke pesantren nawaitu mengabdi demi mendapatkan barokah, memperbaiki diri, tirakat demi keluhuran budi, dan bukan nawaitu menjadi politisi atau profesi lainnya selain santri.

Meskipun niat awal para santri datang ke pesantren adalah untuk mencari barokah, namun pesantren telah terbukti melahirkan berbagai macam profesi santri: penulis, pemikir, politisi, pengamat ekonomi, dan lain sebagainya. Unsur-unsur seperti barokah, penerapan pengabdian bagi santri, lingkungan religius, serta figur kiai yang menjadi pusat kegiatan di dalamnya, menjadi faktor utama bagaimana watak dan karakter seorang santri dibentuk. Singkatnya, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang “melahirkan”, bukan “menciptakan”.

* * *

Memakai peci, bawahan sarung, alas kakinya bakiak (terompah), membawa kitab gundul, belajarnya di musholla: itulah citra sepintas ciri seorang santri. Meskipun identifikasi ini sangat fisikis, namun semua hal itu telah menjadi simbol yang mudah dikenali, bahkan menjadi ikon yang digunakan oleh beberapa antropolog untuk mencirikan kaum santri.

Saya yang pernah nyantri di bebebrapa pesantren di Jawa, merasakan kesan kumuh terkadang disandangkan pada kelompok ini, meskipun stereotip ini, setidaknya dalam pandangan sementara saya, lebih terkesan sebagai proyek minor untuk menghasilkan sebuah kesimpulan inferior. Atau, boleh jadi kesan ini tercipta—bukan diciptakan—karena kaum santri yang cenderung menolak hal-hal yang bersifat formal (karena figur mereka, kiai, juga merupakan figur pimpinan nonformal, bukan pejabat). Pencitraan semacam sejatinya cukup ampuh untuk membunuh karakter santri, namun di balik itu ia justru menghidupkan perlawanan. Sebab, ciri khas justru akan muncul ketika ia telah dikategorisasi, salah satunya melalui pencitraan.

Dengan begitu, mudah rasanya membuat ketegorisasi: identifikasi fisikis di atas (sarung, peci, kitab kuning, dan bakiak, dll.) biasanya dianggap sebagai busana resmi atau—kata anak sekarang—“dress code” santri, tetapi justru menjadi tidak formal ketika dihadapkan langsung dan berbaur dengan komunitas “formal” lainnya yang secara fisik menolak keberadaannya. Mana ada orang bersarung dan berpeci di Senayan? Di mal atau dalam rapat-rapat kedinasan? Ah, ada-ada saja!

Anggapan formal/tidak formal sebetulnya lebih merupakan bias pandangan. Sebab, pesantren (terutama pendidikan salafi di awal kemunculan pesantren di Nusantara) sendiri merupakan pendidikan “tidak formal”, dan lembaga pendidikan tua yang masyhur sejak Raden Rahmat membina pesantren Ampel Denta di Surabaya. Salah satu buktinya adalah: pada awalnya, sistem pendidikan pesantren tidak mengenal kelas (nonklasikal). Tingkat pendidikannya pukul rata. Jika kiai mulang kitab, semua yang mengikuti pengajiannya tanpa terkecuali, dari anak-anak hingga kakek-kakek pun tidak masalah.

Ada anggapan yang pernah saya dengar langsung dari seorang teman yang kebetulan sama sekali tidak mengenal pesantren, hidup di kota metropolitan dan kuliah di sebuah universitas. Baginya, setiap orang yang belajar agama adalah santri. Saya kira, dia tidak sendirian. Banyak orang yang juga beranggapan demikian dan tidak tahu-menahu bahwa santri identik dengan hanya mereka yang belajar di pesantren.

Satu hal lagi, pesantren adalah lembaga pendidikan yang dipimpin oleh seorang (atau lebih; berbentuk dewan) pengasuh yang disebut kiai. Kiai disyaratkan harus mumpuni, menguasai semua ilmu agama, terutama tauhid, fiqh, dan tasawuf. Di pesantren, keputusan tertinggi berada padanya. Peran dan posisi kiai/guru yang nyaris sentral dan segala-galanya. Hal ini disebabkan karena pada umumnya, sistem pendidikan pesantren memiliki “kitab suci” yang sama, yaitu Ta’lim al-Muta’allim; sebuah kitab yang berisi tatacara menjadi murid. Dalam kitab tersebut, guru memang begitu diagungkan. Kitab tersebut telah menempatkan seorang guru begitu terhormat, dan begitu tinggi, dan segala-galanya. Posisi guru/kiai yang demikian itu nyaris—ingat, bukan sama sekali—seperti kitab suci: jauh dari kritik, bukan tanpa kritik!

Pendidikan pesantren, meskipun nama pesantren sendiri diturunkan dari Bahasa Sanskerta yang “tidak islami”, tetapi di kemudian hari, pesantren/santri mengalami penyempitan makna: hanya identik dengan pendidikan agama Islam. Untuk itu, agar ilmu agama yang diperoleh santri benar-benar berasal keringat yang halal dan murni, banyak kiai yang membiayai santri dan pesantrennya dengan dana dari kocek pribadi. Santri hanya menyumbang ala kadarnya, atau bahkan tidak sama sekali. Hal inilah yang membuat pesantren begitu mandiri dan steril dari kepentingan luar pesantren.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu, di saat pemerintah menanggung semua biaya pendidikan, termasuk diniyah (madrasah keagamaan di pesantren), atau pesantren sendiri yang mengizinkan sistem pendidikan formal di dalamnya, pelan-pelan perubahan terjadi, baik pandangan masyarakat tentang pesantren maupun pandangan pesantren pada pendidikan formal.

Seiring dengan itu pula, ilmu-ilmu pembelajaran modern bermunculan teori quantum hingga revolusi belajar yang menganggap tidak ada siswa yang bodoh karena mereka pasti punya potensi tersembunyi yang dapat digali: demikianlah slogannya. Semua siswa bisa cerdas, terampil, berwawasan, dewasa, dan semua itu dapat dicapai dalam kurun waktu serbasingkat. Model pembelajaran jenis ini memposisikan guru “hanya” sebagai pengarah/pendamping. Ini berbeda dengan di pesantren. Guru tetaplah seorang figur, bukan pendamping, apalagi teman belajar. Guru menjadi sentral pembelajaran karena sejatinya dia hanyalah perantara dalam menularkan ilmu, lebih dari itu seorang guru bertugas untuk menyampaikan nilai dan moral (barokah).

Karena itu, metode quantum mungkin akan dianggap melawan sunnatullah. Sebab percepatan bertentangan dengan pengabdian yang menuntut seseorang harus ikhlas dan tabah dalam menjalani proses pendidikan. Ini sesuai dengan prinsip masyarakat ketika memondokkan anaknya: seseorang yang datang ke pesantren bukanlah untuk mencari ilmu, tetapi memperbaiki diri; bukan mondok, tetapi tirakat; karena tugas pesantren adalah memanusiakan manusia, bukan menciptakan bagaimana seseorang bisa pintar, tetapi terlepas dari kendali moral: pintar mengakali dan pintar menipu. Na’udzubillah!

Faktor Mistis Bernama Barokah

Dalam sistem pendidikan pesantren, banyak hal yang—dalam sementara pandangan orang yang tidak mengalaminya secara langsung—tampak mustahil dan tidak masuk akal, sebut saja satu bagiannya: barokah!

Salah satu butir dalam model pembelajaran baru adalah sistem rolling, alias tukar tempat. Suatu waktu, di sebuah workshop yang saya ikuti di lembaga tempat saya mengajar, pemateri workshop memberikan contoh sistem rolling ini untuk menghindari kebosanan siswa dalam belajar, dan agar pula ada pemerataan informasi: bangku dalam ruang kelas dibuat melingkar atau tempat duduk siswa saling ditukar. Tetapi, betapa kaget pemateri tersebut manakala salah seorang peserta workshop (guru) menolaknya karena hal itu, menurutnya, bertentangan dengan Ta’limul Muta’allim yang antara lain menuntut seorang murid (pencari ilmu) supaya anteng/tidak berpindah-pindah tempat. Sikap anteng ini merupakan salah satu bagian dari istiqamah (kedisiplinan) yang pada akhirnya akan menentukan pula pada efek barokah. Sebab, dengan istiqamah, seorang pencari ilmu akan lebih mudah mendapat barokah.

Dalam pandangan masyarakat, akhlak yang baik merupakan tujuan seorang santri menuju pemuncak penjelajahan spiritualnya. Jadi, puncak itu tidak terletak pada kapasitas atau prestasi intelektualnya. Dengan akhlak yang baik, niat yang tulus, barokah akan lebih mudah diraih. Pada intinya, mengharapkan barokah merupakan keyakinan adanya faktor mistis bagi pencari ilmu: bahwa tugas seorang santri adalah “mencari tahu”, bukan “harus tahu”. Tugas santri adalah niat yang ikhlas; soal ganjaran itu urusan Allah yang akan membalas.

Dalam tradisi pesantren, barokah begitu sakral dan misterius. Ia adalah misteri ilahiah yang—demi kesakralannya—terkadang dibiarkan “tidak dirasionalisasi”. Meskipun, dengan analogi hukum sebab-akibat, nyatanya barokah tetap rasional: bahwa kebaikan selalui dibalas dengan kebaikan. Hanya saja, balasannya mungkin tidak sama, bahkan mungkin lebih besar.

Umumnya, kaum santri memahami barokah sebagai khairun ilahiyyun la ya’lamuhu illallah (kebaikan ilahiah—dengan motif transendental—yang tidak diketahui oleh siapa pun melainkan Allah semata), atau diringkas menjadi ziyadatul khair alias “bonus” kebaikan, sejenis doorprize yang diberikan Allah melalui perbuatan, orang, ataupun tindak-tanduk, yang didapat seseorang karena ia telah melakukan suatu amal kebajikan/kebaikan, apa pun bentuknya. Walaupun, di mata sekuler, barokah bisa saja dianggap keberuntungan (hoki) dan di mata masyarakat awam barangkali hanya sebagai tuah.

Berdasarkan cerita-cerita, tampaknya barokah memiliki satu kata kunci lagi: “ikhlas”. Misalnya, kisah seorang santri yang sepanjang masa kesantriannya hanya mengabdi menjadi pelayan kiai, baik itu sebagai pendamping di kala bepergian, sebagai khadam, atau bahkan gembala ternaknya. Banyak cerita yang berlatar kisah semacam itu. Misalnya, sebut saja Najmuddin, yang sepanjang hidupnya hanya menjadi pelayan dapur Kiai Musyaffak. Ketika pulang ke desanya, Najmuddin didaulat masyarakat kampung menjadi kiai di desa. Santri pun berduyun memohon agar dia meneroka tanah baru dan membuka kampung persantrian yang baru. Bahkan, terkadang, masyarakat menyediakan tanah sekaligus bangunannya untuk dihuni.

Sialnya, bagi beberapa orang, barokah justru dicitrakan buruk dengan dijadikan temeng/dalih dan “tempat pelarian yang aman”. Misalnya, jika ada seorang santri yang “berdarah biru” (memiliki trah/keturunan kiai) yang berhasil dalam intelektualitasnya, masyarakat awam dengan mudah menganggapnya “sudah dari sono”-nya. Misalnya, kisah Kiai Muzammil di Jember yang astronom. Dengan latar belakang pendidikan salaf (seratus persen pendidikan agama), Kiai Muzammil ternyata dapat membuat teropong bintang. Tetapi, kerap dilupakan bahwa bahwa Kiai Muzammil sebetulnya juga memiliki dasar ketertarikan pada astronomi serta selera sains yang kuat. Dengan mempelajarinya secara otodidak, lalu mampu, sejatinya Kiai Muzammil memperoleh semua itu bukan dengan tanpa susah.

Jika disederhanakan, barokah merupakan “buah kebaikan”, sejenis sebab-akibat, atau bentuk altruisme dalam lain hal, plus satu catatan lagi: semua kebaikan yang diproduksinya itu berasal dari “ketulusan dalam pengabdian”. Seseorang yang berbuat kebaikan, akan diganjar dengan kebaikan yang lain. Prinsip ini sebetulnya merupakan slogan populer yang diketahui bersama. Tetapi, nilai pengabdian inilah yang terasa berat. Sebab, secara kasar, ia berarti rodi: bekerja tanpa dibayar meskipun sebetulnya bayarannya akan dikembalikan nanti di kemudian hari.

Di banyak pesantren, terutama pesantren salafi, ada hapalan Alfiyah Ibnu Malik (pelajaran tata bahasa Arab; berupa larik-larik pelajaran bergenre puisi). Materi ini dianggap sulit karena dua hal: karena pemahamannya juga karena harus dihapal, 1000 larik jumlahnya. Bagi banyak santri, pemahaman menjadi prioritas nomor sekian karena yang terpenting adalah barokah kitab/muallif-nya (pengarangnya). Tidak heran jika muncul slogan: iso gak iso sing penting barokah! Mau ngerti atau tidak, terserah! Yang penting barokah.

Keinginan yang besar terhadap barokah kerap kali ditempuh para santri melalui berbagai cara dan laku yang berat sekali. Antara lain tirakat dan riyadah batiniah (ritual batin). Semua itu dilakukan seorang santri demi kematangan pribadi yang pada akhirnya—dengan banyak bukti yang tidak dapat disebut satu per satu di sini—berhasil. Mereka mendapatkan “doorprize dari Tuhan” yang menakjubkan: barokah!

Tirakat dan riyadah yang berat ada kalanya menghasikan figur santri yang bukan saja berkompeten, melainkan multitalent, bahkan polymath. Merekalah yang beruntung mendapatkan “ilmu ladunni”, yaitu peringkat tertinggi dalam proses pencarian ilmu seorang santri (murid). Dengan ladunni ini, ia menjadi seorang ilmuwan. Bagai sebuah keajaiban, ia tahu segala hal, terutama hal-hal yang berikaitan dengan ilmu-ilmu agama.

Seperti diungkapkan dalam bait puisi Alfiyah yang populer di pesantren, wa fi ladunni ladunni qalla wa fi / qadni wa qathni al-hadzfu aydhan qad yafi, “Sebetulnya ilmu ladunni bukan suatu hal yang mustahil, hanya saja ia jarang ditemukan”. Prinsipnya, setiap manusia punya potensi ilmu pengetahuan, atau dapat menyerap ilmu yang dipelajarinya secara maksimal. Bayangkan, jika sekali baca atau sekali dengar semua orang dapat paham. Betapa dapat dengan seorang murid akan menjadi pandai? Nah, dalam konsep ladunni, sejatinya kita bisa dapat sedemikian itu. Namun, karena selubung yang menyelimuti hati, tidak mudah bagi seseorang dengan mudah untuk paham. Maka, berkat doa dan kerja keras serta kebaikan, dapatlah kita barokah, dan ia akan turut menguak selubung itu perlahan-lahan.

Secara metaforis, barokah dapat dimiliki dan ditularkan oleh selain Allah. Tetapi, secara literal barokah tetaplah milik Allah yang diberikan “melalui” orang/perbuatan baik. Karena seorang kiai memiliki “pangkat” yang lebih tinggi di mata Allah, juga karena doa-doanya karena kiai dianggap lebih dekat dengan Dzat Yang Maha Mengetahui, maka setiap santri berharap mendapat barokah melalui bakti dan mengaji kepada kiai.

Akan tetapi sebaliknya, jika ada santri yang tidak mengindahkan atau kerap melanggar perintah seorang kiai, maka hatinya akan semakin terselubungi. Dengan demikian, semakin teballah tirai yang menutupi. Jika barokah diumpamakan sebagai cahaya, ia tak dapat menembus hati seorang pencari ilmu yang hatinya telah terselubungi semacam ini. Bahkan, ia hanya mendapatkan tulah (imbalan keburukan) dari perbuatannya, lebih-lebih kelak ketika ia telah pulang ke masyarakatnya.

Longlife Pengabdian

Pengabdian memang bukan hanya milik pesantren. Namun, prinsip ini menemukan kekhasannya di pesantren. Ia merupakan satu dari sekian hal yang membuat santri lebih mandiri. Biasanya, meskipun tidak semua pesantren menerapkan, sebelum lulus dari jenjang terakhir pendidikan di sebuah pesantren, seorang santri diharuskan mengabdikan diri—berbentuk guru yang diperbantukan/guru tugas—di pesantren tersebut, dan lebih-lebih di pesantren lain.

Model pengabdian ini mirip Kuliah Kerja Nyata (KKN) di perguruan tinggi, hanya saja rentang waktu pengabdiannya lebih lama. Secara teknis, model pengabdian ini merupakan kerja sama antara pengurus pesantren dengan pihak alumni atau lembaga-lembaga lain yang membutuhkan. Mereka bertugas kurang lebih 1 hingga 2 tahun.

Dengan menjadi seorang “guru bantu”, tugas seorang santri yang diabdikan tidak semata-mata mengajar, melainkan juga menjadi ustadz/guru agama di kampung orang. Dengan demikian, tugas dia tidak hanya mengajar, melainkan harus dapat turut dan berbaur langsung dengan kehidupan masyarakat yang kompleks.

Pengabdian telah muncul seiring dengan lahirnya pesantren itu sendiri. Bahkan di awal kemunculannya, lembaga pendidikan ini memang berdiri dan berbasis pada masyarakat dengan dasar pengabdian. Seorang pengasuh bertugas semata-mata pengabdian, tanpa imbalan. Maka tidak heran jika ditemukan kiai yang menanggung santri dengan ambil alih fungsi orang tua: mendidiknya, mengawasinya selama 24 jam, lengkap dengan akomodasi dan komsumsinya secara gratis.

Pada masa-masa Orde Baru, dengan mudah dapat kita temukan guru-guru yang mengajar di pesantren tanpa sepeser pun bayaran. Sebab, sumbangan biaya pendidikan yang didapat dari santri tidak realistis jika masih harus disisihkan untuk menggaji guru. Para guru itu mengajar, sementara madrasah cukup memberinya kudapan atau secangkir teh sebelum jam pelajaran dimulai, serta sekali makan di saat jam istirahat. Di akhir tahun pelajaran, mereka diberi kenang-kenangan, kadang-kadang berupa peci dan sarung, atau secarik kain yang cukup buat kemeja panjang. Cukup. Itu saja.

Namun, perubahan drastis terjadi semenjak 1998. Kemiskinan yang mendera bangsa ini begitu terasa hingga ke masyarakat kelas bawah. Puncaknya terjadi saat pemerintah mencabut subsidi BBM dan mengalihkannya pada biaya operasional pendidikan. Tidak bisa tidak, pesantren yang juga melaksanakan kegiatan pendidikan formal kini harus “menggaji” guru sesuai dengan dana yang telah tersedia.

Namun, perubahan itu bukan berarti pertanda matinya “guru abdi”. Sebab, masih banyak pesantren yang menerapkan sistem salafi menolak subsidi itu. Rupanya, image Orde Baru yang kotor masih melekat pada pemerintah. Sehingga, apa pun yang datang dari pemerintah cenderung dianggap kurang murni/diragukan (syubhat). Padahal, untuk memperoleh ilmu yang barokah dan manfaat harus didukung oleh struktur dan infrastruktur yang serbahalal. Karena itu, jangankan dana yang haram, syubhat pun terlarang.

Jamaah dan Kebersamaan

Pesantren dengan sistem pengajaran dan pembelajaran salafi yang menganut sistem pendidikan kelas atau nonkelas (pengajian/sorogan), semi-modern, atau bahkan pesantren modern sekalipun, pada dasarnya visi dan misi-nya tetaplah sama: mengantarkan santri pada kehidupan yang lebih baik, terutama dalam hal pendidikan agamanya. Sementara konsep terpenting dalam beragama adalah jamaah (kebersamaan).

Nilai jamaah di pesantren sangat ditentukan oleh keragaman komunitas mereka, akulturasi. Mereka berbaur dengan komunitas lain dari latar beragam budaya berbeda. Santri yang di rumahnya biasa membawa mobil pribadi atau jalan kaki, yang makan malam di restoran atau yang setiap harinya haris bekerja sendiri, setiba di pesantren mungkin akan tinggal sebilik serta makan nasi yang sama. Jika melanggar peraturan, mereka sama-sama harus menguras bak mandi atau berdiri membaca Surah Yasin.

Kebersamaan selama 24 jam membuat santri lebih mudah bergaul dan akrab dengan siapa pun. Berbaur dalam kebersamaan akan berdampak besar dalam pembentukan karakter santri, terutama pada pembentukan sikap adaptasi dan toleransinya. Dan puncak teori jamaah ini menemukan pengejawantahannya yang hakiki pada “shalat berjamaah” yang pasti diterapkan di semua pondok pesantren. Melalui penelitian ilmiah, konon, sel-sel dalam tubuh akan menemukan signifikansinya saat melangsungkan shalat berjamaah, yakni shalat bersama-sama yang dalam agama Islam sangat dianjurkan dengan “iming-iming” ganjaran 27 derajat berbanding 1 jika shalat sendirian. Menurut Tariq Ali, kekerapan jumlah pertemuan, seperti pada dalam shalat berjamaah, akan meningkatkan semangat kebersamaan dan rasa persaudaraan.

Dalam kebersaman ini, didukung dengan keharusan shalat berjamaah, proses pembentukan watak kolektif berlangsung dengan baik. Sekarang bandingkan dengan anak yang hanya tujuh jam (atau kurang) menghabiskan waktu di sekolah, lalu sisanya terlepas dari pengawasan karena orang tuanya sibuk sendiri, sedangkan sang anak juga sibuk dengan jadwal nongkrongnya. Teknik quantum apakah yang dapat membentuk karakter anak jika ia selalu berada di luar pengawasan? Mampukah ia mengurus dirinya sendiri pada usia di mana ia lebih mendambakan kebebasan sebebas-bebasnya? Jika ada jawaban “ada” bagi pertanyaan di atas, pasti itu hanya sebuah perkecualian.

Kiai Sebagai Nabi

Panji Taufik, tetangga saya, bercerita. Baru-baru ini, untuk sebuah kepentingan profil Kiai Abdullah Sajjad Guluk-Guluk (wafat melawan tentara Belanda) yang kesohor kepribadiannya, ia hendak melakukan wawancara. Ia mencari informan. Dari penelusuran itu ia menemukan satu nama: Kiai Mannan yang tinggal di Dasuk, Sumenep, sebagai salah satu saksi hidupnya.

Berharap banyak mendapat informasi penting tentang Kiai Sajjad dari Kiai Mannan, setiba di Dasuk, ternyata Kiai Mannan tidak di tempat. Kata keluarganya, Kiai Mannan pergi ke suatu desa untuk membangun sebuah mushalla bagi seorang pemuka agama di sana yang kebetulan digurukan masyarakat. Semua biaya, termasuk bahan material dan ongkos kerja, semuanya ditanggung Kiai Mannan yang disisihkan dari kocek pribadi. Perlu diketahui, usia Kiai Mannan sudah di atas 70 tahun, dan ia juga bukan orang yang berkecukupan. Ia orang miskin, petani biasa.

Dari peristiwa itu, Panji Taufik berkesimpulan, alangkah hebat peran Kiai Sajjad dalam memberi sugesti dan memotivasi santrinya dahulu. Ia cukup melihat sosok Kiai Mannan sebagai bayangannya, dan sikap Kiai Sajjad tentu lebih dari itu.

Kisah di atas cukup memberikan informasi kepada kita bahwa figur kiai bagi masyarakat benar-benar harus menjadi nabi, atau bayang-bayangnya. Bukan saja dalam konsep, melainkan dalam kenyataan sehari-hari. Ia merupakan personifikasi idealisme kaum romantik saat bekerja, tetapi secara konkret mengerjakan apa yang dikatakannya dan mengamalkan apa yang diteladankannya.

Kiai merupakan figur sentral di pesantren. Jika kiai dianggap bayang-bayang Allah di bumi, maka santri seharusnya menjadi bayang-bayang kiainya. Apa yang dilakukan oleh kiai sepatutnya juga dilakukan oleh santrinya. Karena itu, kiai selalu diidolakan dan dielu-elukan. Tetapi, kiai bukanlah selebritas. Sebab, jarak yang merenggangkannya dengan santri bukanlah kawalan body guard, melainkan ketakziman yang dimunculkan sendiri oleh santri karena ilmu sang kiai, keluhuran akhlaknya, atau karena pertimbangan “pangkat”-nya di sisi Tuhan.

Singkat kata, kiai menjadi moral force bagi santri. Kiai menjadi idola santri. Ia menjadi figur masyarakat. Semua itu harus dipertahankannya. Sebab, dengan jalan inilah sugesti dan motivasi bisa disuntikkan dengan mudah. Seperti halnya seorang dokter dengan kapasitasnya yang memberikan sugesti sebagai penyembuhan yang utama, demikian pula dengan seorang kiai. Apa saja yang diucapkannya sama halnya dengan kondisi hipnosa di mana seseorang pasti mendengarkannya.

Sikap disiplin atau istiqamah merupakan identitas terpenting kiai. Misalnya, bagaimana seorang kiai bangun tengah malam, membangunkan santri-santrinya untuk sahr layali (bangun malam untuk shalat), dilanjutkan shalat shubuh, mengaji kitab atau Al-Qur’an. Aktivitas terus berlangsung hingga shalat Duha tiba, memungkasi ritualnya saat matahari menyingsing setinggi penggalah.

Figur sentral dan ketokohan seorang kiai pada akhirnya tidak saja bersinar di lingkungan santri, melainkan juga mencakup masyarakat sekitarnya. Dengan begitu, tugas kiai sejatinya amat berat karena ia juga dituntut bisa beradaptasi dengan nilai-nilai lokal sehingga tidak terjadi tabrakan nilai dan budaya. Kiai tidak sekadar butuh intelegensi, melainkan juga emotional quotient dan rohani yang matang.

Untuk contoh ini, saya menyimpan satu cerita lagi.

Di Madura, pernah terjadi sebuah kasus: dua keluarga memperseterukan suatu hal. Karena tidak ditemukan pemecahan, diputuskanlah untuk duel satu lawan satu (sebagai perwakilan antarkeluarga).

Perlu diketahui, di beberapa tempat (meskipun hal ini hanya terjadi pada zaman dulu), duel pertaruhan harga diri yang disebut juga carok ini biasanya disaksikan oleh aparat keamanan. Mereka hanya mengamankan jalannya pertarungan. Ironis memang. Sebab, kerap kali mereka akan turut menjadi korban jika melerai karena hal itu akan dianggap sebagai tindakan “terlalu jauh ikut campur urusan keluarga orang lain”.

Menjelang hari H, satu dari dua kelompok yang bertikai, acabis (sowan) kepada seorang kiai. Sang Kiai pun menyuruh berdamai. Namun, orang tersebut datang ke kiai rupanya hanya membawa “pemberitahuan”, bukan untuk mencari jalan pemecahan. Dan karena merasa tak mampu lagi, akhirnya kiai memberi nasihat begini:

“Kamu percaya saran saya?”

“Ya, Kiai.”

“Jika begitu, baca ini.” Kiai itu kemudian memberikan sebuah amalan yang harus dibaca sebelum duel berlangsung.

“Terus, apa langkah saya, Kiai?” tanya orang itu lagi.

“Sudah. Itu sudah cukup bagimu. Tetapi, ada satu lagi yang perlu kamu jaga. Kamu tidak boleh menyerang lawan lebih dulu. Sebab, yang menyerang duluan berarti marah, dan yang marah akan kalah!” tandas kiai itu mantap.

Di lain waktu, dalam waktu yang hampir bersamaan, pihak lawan juga mendatangi kiai yang sama. Maka, sang kiai pun juga berpesan kepadanya dengan pesan yang sama: tidak boleh menyerang lawan lebih dulu. Sebab, yang menyerang duluan berarti marah, dan orang yang dikuasai amarah pasti akan kalah!

Alhamdulillah. Seperti sebuah film yang menggunakan teknik “akhir luar duga”, pada hari H ternyata tidak terjadi apa-apa. Sebab, kedua seteru sama-sama percaya pada pesan sang kiai, bahwa yang menyerang lebih dulu berarti marah, dan yang marah akan kalah. Hanya figur dan tokoh dengan kematangan batinlah yang dapat melakukan instruksi semacam ini. Dan prasyarat sejenis itu, di mata masyarakat, hanya ada pada seorang kiai.

Catatan Akhir

Tampaknya, sistem pendidikan di pesantren memang menyimpan banyak faktor yang membedakannya dengan sitem pendidikan non-pesantren. Di antara faktor-faktor tersebut adalah adanya atmosfer mistis-religius yang dibingkai dalam sebuah dalil la ya’lamuhu illallah (hanya Allah yang tahu), seperti barokah dan tulah.

Di samping itu, kiai sebagai figur sentral pemimpinnya, konsep jamaah, serta model karantina, menjadi bagian penting lain yang mencitrakan pesantren berbeda. Setelah kita tahu semua itu, maka tidak mengherankan jika dikatakan bahwa melalui sistem itu pesantren telah berhasil menciptakan santri yang berkarakter, mandiri, dan toleran.

Lebih dari itu, berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya, pesantren tampak seperti “rumah tangga raksasa”. Di sana, santri diawasi penuh dari pagi hingga kembali pagi. Proses transfer of knowledge telah diperankan sekolah, namun transfer of value—yang justru paling dominan dalam pembentukan karakter anak—diperankan oleh pesantren sehingga kedua unsur ini sama-sama dapat berlangsung baik.

Menurut Kiai Idris Jauhari, salah seorang pengasuh pesantren di Madura, pembentukan karakter seorang santri nyaris dibentuk oleh lingkungan kamar, dengan kawan dan pergaulan sesama santri, bukan di ruang-ruang kelas. Sepertinya, beberapa komponen pendukung seperti ini hanya dimiliki oleh pesantren dan tidak lembaga yang lainnya.

Di pesantren, seorang santri dididik bermasyarakat. Mereka dituntut mampu bergaul dengan kejamakan kawan-kawannya. Semua itu berlangsung di tempat dan lingkungan (religius) yang terkontrol (jika nongkrong dan diskusi biasanya di serambi masjid, bukan di diskotek), informasi dan komunikasi pun dapat dikendalikan: dipilih, tidak memilih sendiri. Kalaupun mereka nakal, setiap saat mereka akan melihat teladan, baik itu kiai, guru, atau rekannya. Hal itu akan membentuk cara bergaul dan etiketnya.

Di masa penjajahan dulu, pesantren menjadi markas Lasykar Sabilillah untuk melawan penjajahan. Sebelum dan pascakemerdekaan, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang berjasa besar dalam melawan kebodohan. Semua itu dilakukan secara mandiri, dengan biaya sendiri. Kini, saatnya bertanya: jika semua amal di atas adalah sebuah utang, kapan dibayar? Jika moral harus dibayar moral, maka jika pembayaran itu dalam bentuk dana subsidi pendidikan sepertinya belum sepadan.

Saya kira, para pengambil kebijakan di bidang politik pendidikan perlu melirik sistem taklim (pengajaran) dan tadris (pendidikan) ala pesantren. Sebagai khazanah lokal Nusantara yang usianya cukup tua, selayaknya unsur pendidikan pesantren patut menjadi bagian pertimbangan dalam pengambilan kebijakan sistem pendidikan kita. Sekadar contoh, di saat kita sibuk dengan pengembangan unsur afektif dan psikomotorik (karena selama ini terlalu cenderung pada unsur kognitif), sejak dulu pesantren telah menerapkan ketiga-tiganya sekaligus.

Ya, tentu tidak semua yang telah saya tulis di atas itu dapat memuaskan semua pihak. Terutama mereka yang ikut memunculkan tudingan bahwa pesantren ikut menciptakan akar-akar radikalisme dan kekerasan dalam beragama. Saya kira, akar-akar seperti ini selalu muncul dari reduksi pemahaman. Dan reduksi semacam ini selalu muncul dari ketidakmampuan menganalisa sumber asli, sumber otentik agama Islam: Al-Qur’an dan hadits. Padahal, kaum santri mempelajari Islam bukan dari buku terjemahan, melainkan langsung ke sumber aslinya. Lalu, pesantren macam apa yang mereka buat? Adakah itu pesantren “proyek”, pseudo-pesantren yang dibikin untuk merusak citra pesantren? Itulah pertanyaan hati kecil saya yang tidak menarik jika saya jawab sendiri dalam tulisan ini.

Sekali lagi, tentu tidak semua orang akan menganggukkan kepala atas apa yang saya tulis ini, dan sedang mereka baca. Bahkan, beberapa butir yang saya tulis, seperti barokah, bisa jadi tampak tidak masuk akal karena tidak empiris. Sementara penelitian ilmiah hanya mampu melihat dan menerima hal-hal yang empiris. Lalu, bagaimana merasionalisasikan hal-hal yang tidak empiris dengan hujjah yang empiris dan bukti kasatmata? Signifikansi tidak terjadi di dalam wacana, tetapi saat dipertentangkan dengan hal yang nyata.

Karena itu, jika tertarik, datanglah ke pesantren. Saya yang berlatar pendidikan pesantren dan non-pesantren, saat ini seperti seorang pelayan toko. Kepada Anda saya berkata: “Lihat-lihat dulu ndak apa-apa, kok. Jika cocok, ya, baru dibeli!” (dimuat di BASIS, Agustus-September 2007)

04 Agustus 2008

SILSILAH INTELEKTUALISME DAN SASTRA DI PESANTREN (sebuah perambahan atas tradisi pesantren, sastra, dan sastra pesantren)



Oleh M. Faizi


Pesantren merupakan salah satu kekayaan khazanah pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang cenderung pada keagamaan, pemondokan (karantina), serta penerapan pola pendidikan selama 24 jam merupakan salah satu keunikannya. Karena itu pulalah, pesantren dianggap sebagai pengejawantahan local genus pendidikan Nusantara yang sejati.

Kekayaan lektur dan intelektualisme pesantren dibuktikan dengan banyaknya kitab-kitab turats yang ditulis oleh para mushannif (pengarang) berlatar pesantren. Karya-karya ini tidak saja populer di Indonesia, melainkan juga hingga ke tanah Arab. Di antara para pengarang tersebut antara lain adalah: Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Yasin al-Fadani, Kiai Ihsan Jampes, Kiai Ma’shum Ali, Kiai Hasyim Asy'ari, dan lain-lain.

Di samping khazanah intelektualisme, pesantren juga dekat dengan tradisi susastra, khususnya puisi. Bahkan, puisi (syi’ir) menjadi ruh bagi hampir seluruh aktivitas keilmuannya. Berbagai macam disiplin ilmu keagamaan diajarkan melalui bait-bait puisi (nadham). Syi’ir-syi’ir ‘ilmi ini tidak saja dipelajari, melainkan juga dihapalkan. Tradisi nadham dan hapalan menjadi dua serangkai yang nyaris tidak dapat dipisahkan. Sehingga, jika dikatakan seseorang belajar ‘Amrithi atau Alfiyah, maka sejatinya dia sedang belajar ilmu nahwu melalaui puisi-puisi ‘ilmi itu dengan cara menghapalkannya sekaligus.

Di samping itu, silsilah akar sastra di pesantren yang lainnya adalah diba’. Pembacaan antologi puisi karya Imam Abdurrahman Ad-Dayba’i ini dilakukan seminggu sekali oleh masyarakat pesantren. Diba’, bahkan secara “magis”, juga dianggap sebagai doa untuk kepentingan penyembuhan dan doa keselamatan.

Belakangan, muncul istilah sastra pesantren. Wacana ini berkembang sekitar tahun 2000-an, tepatnya ketika Abdurrahman wahid (Gus Dur) menjabat sebagai presiden RI. Besar kemungkinan, kepresidenan Abdurrahman Wahid menjadi pertanda bagi bangkitnya kelompok masyarakat yang bergerak di jalur kultural (pesantren) yang selama Orde Baru mereka tidak memiliki kesempatan. Gus Dur menjadi juru bicara orang-orang pesantren untuk masyarakat nonpesantren, termasuk masyarakat asing.

Akan tetapi, ternyata, wacana sastra pesantren tidak pernah tuntas dibahas. Di satu sisi, sastra pesantren dianggap sebagai nama bagi genre (yang secara teoretis, hal ini tidak mendapatkan alasan pendukung), sementara di sisi yang lain sastra pesantren dianggap sebagai bagian dari “gosip sastra”; dan di sisi lain lagi, penamaan tersebut dianggap sebagai usaha para sastrawan, wartawan, juga pemerhati kesusastraan sekadar untuk menandai para sastrawan yang lahir/berlatar pendidikan di pesantren dan atau pula karya sastra, baik puisi maupun prosa, yang mengangkat tema, latar, serta visi-misi yang senantiasa mengacu pada pesantren dan nilai-nilai kesantrian.

Kata-kata kunci: Intelektualisme. Sastra. Pesantren


Berpuluh-puluh tahun lamanya, di negeri ini, dan terutama pada era Orde Baru, orang-orang pesantren selalu dicekam oleh perasaan minder dalam segala aspek kehidupannya. Tidak hanya minder, mereka juga merasa tidak mempunyai wilayah yang memadai untuk mengembangkan karir: politik, ekonomi, dan bahkan di ranah pendidikan sekalipun: suatu ranah yang seharusnya menjadi dasar pijakannya. Sebab, dalam banyak penelitian, pesantren dianggap sebagai pralambang model pendidikan sejati di Nusantara.

Secara lahiriah, orang-orang pesantren ini dapat dengan mudah dikenali. Kelompok ini dapat dicirikan dengan peci, bawahan sarung, alas kaki bakiak (terompah), ke mana-mana membawa kitab gundul, belajar di musholla, dan seterusnya. Memang, identifikasi ini tampaknya istimewa dan mudah diingat karena telah menjadi “kode” yang digunakan oleh beberapa antropolog untuk mencirikan kaum santri (M. Faizi: 2007). Meskipun pencitraan ini realistis, namun ada kesan inferioritas di sana. Sebab, pencitraan seperti di atas, galibnya, juga disertai dengan pencitraan yang berhubungan dengan klenik, berbau kuno/klasik, dan seolah-olah anti-modernitas. Tak heran, banyak orang yang mengait-ngaitkan pesantren dengan hal-hal yang hanya berlandaskan keyakinan mistis, takhyul, dan tidak mau mengikuti perkembangan zaman.

Beruntung, sejak Abdurrahaman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden, sedikit demi sedikit, kaum santri seolah-olah baru saja mendapatkan juru bicara terbaiknya untuk memperbaiki citra miring tersebut itu, terutama kepada masyarakat/pers asing dan kaum cerdik-pandai, bahwa santri (pesantren) tidak sekumuh dan tidak sekuno seperti yang ada di dalam benak pencitraan mereka. Walaupun dalam jagad politik Gus Dur kerap kali melakukan manuver-manuver yang cenderung kontra-produktif sehingga banyak ditentang oleh banyak kelompok masyarakat, namun dalam hal menyuarakan identitas santri dan kepesantrenan kepada publik non-pesantren, tidak ada yang keberatan jika dikatakan bahwa Gus Dur-lah yang punya peran vital. Data-data yang telah digali dan ditera oleh Mastuhu dalam Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren maupun Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren itu telah disempurkan dengan baik olehnya, lalu disampaikan secara lugas dan meyakinkan bagi orang-orang non-pesantren, bahkan termasuk kepada mereka yang selama ini “memusuhi” pesantren.

TRADISI INTELEKTUALISME DI PESANTEN

Dalam laporan-laporan penelitian, dengan data-data yang valid dan akurat, disebutkan bahwa tradisi (keilmuan) di pesantren sangatlah kaya. Bahkan, ada pula yang telah sampai pada kesimpulan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang asli Nusantara dengan khazanah intelektual yang luar biasa. Salah satu dari kekayaan itu adalah model pendidikan 24 jam, yakni model pengasramaan (karantina/pondok). Ironisnya, saat ini, model pendidikan karantina (asrama/pondok) telah diterjemahkan dan diusung ke Barat, dan justru maju lebih pesat. Sementara pesantren telah dilupakan oleh banyak orang, bahwa model pendidikan ini merupakan model pendidikannya yang sejati.

Di samping itu, tesis yang menyatakan bahwa “tradisi keilmuan di pesantren sangatlah kuat” tidak dapat terbantahkan. Akar intelektualisme tokoh-tokoh pesantren, kitab-kitab yang dikarang/ditulis maupun yang diajarkan; tradisi keilmuan—terutama agama—menjadi identitas pesantren yang paling penting. Salah satu ciri penting lainnya adalah tradisi menghapal puisi-puisi berbahasa Arab (syi’ir/nadham).

Transformasi ilmu pengetahuan ini terus-menerus berlangsung di pesantren, juga dari luar ke pesantren, maupun sebaliknya. Akan tetapi, sebelum itu, perlu dicatat bahwa silsilah ilmu pengetahuan ini secara umum dibentuk melalui dua fase. Fase pertama, yakni penyebaran Islam di Nusantara, terjadi pada abad ke-13 sampai abad 15 M. Fase kedua, berlangsung pada abad ke-18 sampai awal abad 20. Pada fase ini, ulama-ulama menuntut ilmu ke pusat Islam di Timur Tengah dan membawanya pulang kembali ke negeri asal mereka (Zamiel el-Muttaqien: 2005). Ulama-ulama ini kemudian menjadi tokoh dan banyak memberikan warna pada kehidupan masyarakat, termasuk mengambil peran dalam memperkenalkan dan kemudian mengajarkan sumber-sumber referensi agama Islam yang tentunya dari Bahasa Arab.

Tradisi keilmuan pesantren berbasis agama (Islam) notabene berasal dari tanah Arab (Baghdad, Hijaz, Mesir, dll.). Karena itu, hampir semua sumber otoritatif untuk itu menggunakan bahasa Arab. Di pesantren, para santri mempelajari bahasa Arab agar dapat mendalami ilmu pengetahuan tersebut langsung pada sumber aslinya, yakni kitab-kitab turats yang hampir seluruhnya menggunakan bahasa ini.

Sumber rujukan ini berbentuk dua macam; natsar (prosa) dan syi’ir/nadham (puisi/versifikasi). Inilah cetak biru yang dapat kita mulai untuk membicarakan perihal hubungan kelit-kelindan antara pesantren dan sastra pada akhirnya.

Dalam mempelajari ilmu, penggunaan teknik hapalan lebih bersifat dasar alasan, bukan asas tujuan. Karena, tujuan utamanya adalah memahami, sementara hapalan, yang tentu saja dimaksudkan untuk lebih mudah mengingat, juga menjadi acuan/referensi sebagai argumen, siapa tahu suatu saat dibutuhkan sebagai dalil/jawaban. Dan umumnya, yang dihapalkan oleh para santri ini adalah syi’ir/nadham.

Pada zaman Jahiliyah, seorang juru bicara kabilah adalah seorang penyair. Dan penyair ini memiliki peranan penting untuk menentukan penghargaan dan penghormatan kabilah lain kepada kabilahnya. Karena itulah, mengarang syi’ir/nadham, dalam tradisi Arab sejak zaman Jahiliyah, merupakan suatu kebanggaan. Bahkan, tradisi sastra Arab identik dengan puisi. Fenomena adu puisi di momen sastra “Pasar ‘Ukkaz” dan juga puisi-puisi terbait digantungkan di Ka’bah (mu’allaqat) merupakan bukti nyata yang dicatat oleh para ahli sejarah.

Meskipun orang-orang Jahiliyah pandai menggubah puisi, namun teori penciptaan puisi baru “terlembagakan” dan dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri setelah munculnya Al-Khalil bin Ahmad. Dialah peletak batu pertama ‘Ilmu ‘Arudl, sebuah disiplin ilmu yang membahasa perihal penciptaan rima dan matra dalam puisi.

Salah satu keunggulan tradisi bersastra dalam masyarakat Arab ini adalah penyajian konsep/teori disiplin suatu ilmu melalui puisi. Teori-teori itu dipaparkan melalui bait-bait puisi, dihimpun, dan diberi judul dalam suatu kitab. Hampir tak ada satu pun disiplin ilmu di dunia ini yang ditulis menggunakan media puisi, kecuali oleh mereka. Lazimnya, yang kita tahu adalah: disiplin ilmu disajikan melalui gaya penulisan prosa (deskripsi-eksposisi). Memang betul, banyak buku pengetahuan yang ditulis dengan bahasa “puitis”. Namun, sekali lagi, hanya sebatas puitis, bukan puisi. Sementara orang Arab menuliskan gagasan ilmiahnya secara konseptual melalui media puisi. Ini adalah sebuah tradisi yang luhur dan ajaib. Yang paling masyhur bagi kita antara lain adalah buku kumpulan puisi “Alfiyah” karya Ibnu Malik. Kitab ini berisi 1000 larik puisi tentang ilmu tata bahasa Arab (gramatika). Mendampingi “Alfiyah”, ada pula nadham Maqshud, puisi yang mempelajari ilmu konjugasi/perubahan bentuk kata.

Setelah orang-orang nonmuslim dan Eropa berhasil menghancurkan pusat-pusat tamaddun Islam di Irak (Baghdad), Andalusia, juga Turki, lalu mengusung kekayaan intelektualnya ke negeri-negeri mereka, kini tinggal satu yang tersisa, yang senantiasa gemilang di Timur (Arab): itulah “transformasi ilmu pengetahuan melalui puisi”. Inilah satu kekayaan, keunikan, dan keajaiban yang tidak dapat diterapkan dalam kehidupan ilmiah mereka.

* * *

Tradisi “tansformasi ilmu pengetahuan melalui puisi” merupakan keistimewaan, bahkan, barangkali merupakan acuan paling dasar dari semua pembicaran tentang silsilah/referensi ilmiah di pesantren. Berbagai disiplin ilmu pengetahuan diturunkan melalui puisi, mulai dari teori-teori hukum fiqh, gramatika, teori rima dan matra, hingga linguistik.

Sekadar perbandingan: para pemikir, filsuf, dan tokoh-tokoh garda depan, seperti Nietszche dan Camus, serta juga banyak filsuf besar yang lain, kerap kali menyampaikan gagasan dan pemikirannya secara umum melalui karya sastra, seperti Zarathustra dan La Paste misalnya. Namun, karya pemikiran mereka itu berbentuk prosa, bukan puisi. Prosa yang puitis sekali pun tetaplah prosa, bukan puisi. Jarang, atau bahkan mungkin nyaris tiada, dari kalangan Barat (non-Arab) yang benar-benar berhasil dalam menuliskan teori disiplin ilmu tertentu secara konseptual dan praksis melalui puisi. Kalaupun ada, barangkali silsilah rujukannya dapat dipastikan juga dari tradisi Arab juga.

Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa khazanah pemikiran Arab-Islam Klasik juga memiliki pucuk silsilah dari tradisi intelektualisme Yunani Kuno, namun orang-orang Arab telah berhasil memodifikasi, menerjemahkan, dan menyadur karya-karya para pemikir Yunani tersebut lalu menjaganya dalam sebuah tradisi intelektual yang terus berlangsung hingga hari ini.

Berkebalikan dengan itu semua, hampir setiap para pemikir Arab dapat dipastikan punya dasar bersastra yang kuat. Di Arab, terutama dalam tradisi kehidupan ilmiah klasik, tokoh-tokoh ilmu pengetahuan biasanya juga seorang “merangkap” sebagai sastrawan: seorang fisikawan sekaligus sastrawan; atau musikus juga sebagai penyair; dan seterusnya. Sebut saja nama Al-Farabi yang disandingkan tanpa jarak dengan musik. Namun begitu, ia juga dikenal sebagai filosof dan juga seniman. Demikian pula dengan Kamaluddin ad-Dumairi, filosof yang ahli biologi ini juga dikenal luas di Eropa sebagai pakar susastra.

Lebih dari itu, para ilmuwan Arab-Islam adalah polymath, dan sebagian lagi juga poliglot. Secara umum, mereka dapat dan pernah menulis karya sastra, terutama anotolgi puisi. Bahkan, disebutkan bahwa Syihabuddin Ahmad bin Majid yang dikenal sebagai pelaut, juga menulis dua antologi puisi (diwan) penting; Al-Qashidah li Ibni Majid dan al-Qashidatul Musammah bil Mahriyyah. Konon, dialah yang menolong Vasco Da Gama menemukan Tanjung Harapan. Ia bahkan memetakan cara melakukan pelayaran di berbagai kawasan yang berbeda untuk melintasi Laut Merah. Perlu dicatat: ia menuliskan teori pelayaran itu dalam bait-bait puisi! Bahkan, beberapa orang yakin kalau oang-orang Portugis tidak akan pernah dapat melintasi Samudra Hindia andai tanpa bantuan petunjuk dari puisi Syihabuddin ibnu Majid ini. Kini, puisi tersebut dimuseumkan dalam sebuah manuskrip yang tesimpan di sebuah institut di Leningrad (Saint Petersburg), Rusia (Muhammad Ali Usman, 2007: 215-216).

Imam mazhab (fiqh) yang paling populer di Nusantara, yaitu Imam Syafi’i, juga menulis puisi. Belakangan, beberapa puisinya telah diterbitkan ulang dalam cetakan baru yang diberi judul “Diwan asy-Syafi’i.” Demikian juga Abu Nuwas, yang dikenal luas sebagai cendekia jenaka, tetapi juga sering kali dinisbatkan sebagai filsuf/tokoh sufi, juga menulis puisi. Antologi puisinya yang paling masyhur adalah kumpulan puisi khamriyyat (anggur-isme).

Dalam banyak hal, puisi jauh lebih dekat kepada masyarakat santri (pesantren) di Indonesia daripada genre sastra yang lain. Tradisi ini, kalau dirunut, sepenuhnya mengakar pada tradisi Arab tadi, dan bukan lainnya, kecuali hanya mungkin perkecualian semata, seperti dari tradisi Inggris atau Belanda. Puisi, dalam pengertian nadham, sangat akrab dengan masyarakat meskipun tidak berarti ia menjadi bukti kalau selera bersastra Indonesia sepenuhnya didasarkan pada tradisi ini. Namun, yang pasti, puisi yang mula-mula berkembang sangat identik dengan Arabisme, dan Arabisme—awal mulanya—senantiasa identik dengan keislaman: kira-kira, demikianlah silsilah penjabarannya.

Di Madura misalnya, tradisi bersya’ir (syi’ir) cukup kuat tertanam dalam di kehidupan masyarakat, bahkan di luar pesantren sekalipun. Kecenderungan ini sepenuhnya dapat dimaklumi dengan mengetahui bahwa bahasa Arab—bagi masyarakat pesantren—nyaris menyerupai “bahasa kedua”. Bahkan, pada beberapa masyarakat di lingkungan pesantren di Madura, tidak sulit untuk menemukan orang yang kefasihan bahasa Arabnya lebih baik daripada ketika dia menggunakan bahasa Indonesia. Menurut Jack Goody, kasus serupa sebenarnya juga tampak di daerah Afrika Barat, dengan pengecualian atas beberapa pengucapan beberapa suku gurun Arab. Pendidikan muslim tradisional mengambil posisi di dalam bahasa Kitab, lebih Arabis, melebihi pengucapan penduduk setempat (Goody, 1987:194).

Sebetulnya, akar sejarah ini berkembang dan diturunkan dari tradisi Melayu yang segala seluk-beluknya sangat kental dengan nuansa keislaman. Hal ini tidak terjadi di Jawa yang identik dengan Hindu. Keterpengaruhan orang-orang Melayu cukup nampak dalam hal-hal penggunaan mereka terhadap term-term (peristilahan/kata kunci berbahasa Arab), juga seperti halnya dapat dengan mudah kita temukan dalam diksi-diksi Melayu lama. Sebagaiamana dinyatakan oleh Amin Sweeney, mayoritas penggunaan peristilahan untuk konsep asli dalam beberapa penulisan adalah bahasa Arab (Sweeney, 1987:199).

* * *

Silsilah akar sastra yang lain di pesantren adalah diba’. Pembacaan antologi puisi karya Imam Abdurrahman Ad-Dayba’i ini nyaris dilakukan setiap minggu oleh masyarakat pesantren, bahkan terkadang hingga dua kali seminggu. Selebihnya, tradisi pembacaan diba’ ini biasanya juga dihelat pada acara pernikahan dan acara-acara ritual yang lain. Puisi-puisi ini bukan sekadar dibaca, melainkan juga dihapalkan. Diba’, bahkan secara “magis”, juga dianggap sebagai doa untuk kepentingan penyembuhan dan keselamatan. Adalah sebuah keyakinan yang luar biasa di sini: membacakan puisi sebagai doa penyembuhan!

Tradisi syi’ir/nadham dan hapalan adalah dua serangkai yang nyaris tidak dapat dipisahkan. Sehingga, jika dikatakan seseorang belajar ‘Amrithi atau Alfiyah, maka sejatinya dia sedang belajar ilmu nahwu melalaui puisi-puisi ‘ilmi itu dengan cara menghapalkannya sekaligus.

Demikianlah, sesungguhnya gambaran di atas cukup signifikan untuk dijadikan sebagai gambaran kedekatan orang-orang pesantren/santri dengan tradisi sastra, nadham, dan kelisanan dalam konteks disiplin keilmuan. Kemampuan berikutnya ditunjukkan dengan baik oleh civitas pesantren dalam bentuk kompetensi di bidang karang-mengarang, sastra maupun non-sastra. Para kiai, dan sebagian juga oleh santri, menyusun kitab; baik berupa nadham (puisi) maupun natsar (prosa). Sebagian karya-karya mereka diajarkan, dicetak, dan juga diterbitkan, meskipun hanya mencakup dan tersebar di lingkungan terbatas (di lingkungan pesantren tersebut).

Akan tetapi, tak jarang karya ulama yang melampaui batas lingkungannya. Banyak kiai yang menulis kitab dan diterbitkan untuk umum, bahkan masyhur tidak saja di tanah air (Nusantara), melainkan hingga ke luar negeri, bahkan hingga jauh di tanah Arab. Terutama karya-karya ulama zaman dahulu. Sebut saja misalnya Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani (Nihayat az-Zain, Marahu Labid/Tafsir Munir), Syekh Yasin al-Fadani (Fawaidul Janiyyah, Hasyiyah Faraidul Bahiyyah), Kiai Ihsan Jampes (Siraj at-Thalibin), Kiai Ma’shum Ali (Amtsilat at-Thashrif), Kiai Hasyim Asy'ari (At-Tanbihat al-Wajibat) dan juga, yang muncul belakangan, Shohib Khaironi El Jawy yang menulis kitab panduan tata bahasa Arab dengan metode skema dan diagram yang memudahkan pembaca yang ingin mendalami ilmu nahwu-sharaf. Kitab karangannya ini, Audhlahul Manahij, bahkan telah “diakui” kompetensinya di negara-negara Arab (Em Syuhada’: 2008). Ulama-ulama Nusantara yang disebutkan di atas telah berkiprah cukup baik dalam tradisi kepengarangan di tanah air dan luar negeri. Selengkapnya, biodata mereka antara lain dieksiklopedikan oleh Mastuki HS dan Ishom El-Saha dalam buku “Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren”, dan sebagian juga disitir dalam “Transformasi Otoritas Keagamaan: Pengalaman di Indonesia”, suntingan Jajat Burhanuddin dan Ahmad Baedowi: diterbitkan oleh Gramedia—kerjasama dengan PPIM-UIN Jakarta dan Basic Education Project (DEPAG), tahun 2003.

* * *

Pada perkembangan berikutnya, pesantren mengalami banyak pembenahan. Pembenahan ini tidak saja terjadi pada ranah kurikulum, melainkan juga pada “ideologi kepesantrenan”. Tradisi salaf dan modern kemudian mengemuka dan menjadi wacana khusus. Seiring dengan wacana ini, para penulis dan tokoh dari kedua model institusi ini pun bermunculan. Biasanya, para penulis dari pesantren salaf menulis kitab (nadham) dan para penulis dari pesantren non-salaf menulis karyanya dalam bahasa Indonesia, baik berupa puisi maupun prosa; baik fiksi maupun non-fiksi.

Akan tetapi, jika dihitung dari usia awal mula pesantren dikenal di Nusantara, bahkan sebagai cikal-bakal model lembaga pendidikan “asli” Nusantara, munculnya penulis-penulis berlatar pesantren ini terhitung lambat (dengan catatan: jika yang dimaksud “menulis” itu adalah “menulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia”). Nama-nama tokoh, yang nota bene merupakan penulis (eseis/sastrawan), seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholis Madjid, maupun Emha Ainun Nadjib, muncul dan berkiprah dalam kancah pemikiran penting di tanah air. Belakangan, muncul nama Kiai Muhyiddin, Agoes Masyhuri, Kiai Husein, Said Agil Siradj, dll.

Meskipun para penulis tersebut tidak menekuni bidang karya sastra secara khusus, tetapi dapat dipastikan kalau selama bergelut di pesantren dahulu, pastilah tradisi kepengarangan mereka diawali dari tradisi menulis karya sastra, menulis puisi dan cerpen misalnya. Sebab, di samping seperti telah diungkap di muka, tradisi bersastra begitu kuat di mana pun pesantren, bahkan bukti-bukti untuk itu masih terekam dalam jejak yang jelas hingga saat ini.

Ada pula beberapa penulis yang memang secara khusus menekuni jalan hidupnya di jalur kesusastraan. Sebut saja nama Djamil Suherman, Gus Mus, M. Fudoli Zaini, Zainal Arifin Toha, dan seterusnya. Dan jika dihitung siapa saja santri/alumni yang menjadi sastrawan/penyair, yang lahir dan pernah belajar di pesantren meskipun mereka sendiri tidak mengangkat tema-tema kepesantrenan, bahkan mungkin secara ekstrem “menolak” nilai-nilai kepesantrenan, barangkali jumlahnya akan ada sekian puluh, atau mungkin ratusan.

SASTRA DAN SASTRA PESANTREN

Tidak dapat disangkal, suka atau tidak suka, Gus Dur-lah yang telah membukakan pintu gerbang kepesantrenan: pintu tempat orang-orang luar masuk dan melihat-lihat pesantren, dan dia pulalah yang mengajak civitas pesantren untuk keluar dan menunjukkan diri kepada dunia.

Sebelum pemerintahan Gus Dur, kalaupun banyak penulis yang berasal dari pesantren, publik tidak pernah mengenal mereka dengan baik karena para penulis (sastrawan) itu memang tidak menampakkan diri. Di era presiden RI ke-4 itulah orang-orang pesantren, terutama yang bergerak di bidang kebudayaan dan kesusastraan mulai dipertimbangkan.

Memang betul, bahwa beberapa nama yang disebut di atas telah dikenal sebelum kepemimpinan Gus Dur, namun di era Gus Dur lah, setidaknya, para penulis/sastrawan menemukan rasa percaya dirinya semakin membaik. Lihatlah misalnya, kini banyak sekali kita temukan para penulis yang merasa mantab untuk membubuhkan identitas setelah namanya dengan, misalnya, “penulis/penyair adalah alumni pesantren ini”, atau “pernah nyantri di pesantren anu”. Dulu, di era Orde Baru, rasanya sangat asing jika ada yang menuliskan identitas diri semacam itu: bisa disebabkan karena minder, atau karena “pesantren” dianggap tidak akan memberikan nilai tambah bagi popularitas, bahkan justru mengambrukkannya.

Walaupun pencitraan pesantren telah diangkat dalam karya sastra puluhan tahun yang lalu, lewat karya Djamil Suherman, maupun Saifuddin Zuhri, dan juga M. Fudoli Zaini, namun wacana “sastra pesantren” sama sekali tidak pernah diperbincangkan. Istilah ini, meskipun terus diperdebatkan hingga hari ini, secara praktis muncul sejak adanya kecenderungan dari penulis-penulis alumni pesantren, atau yang berlatar pesantren, dan atau pelajar yang sedang mondok (status santri di sebuah pondok pesantren), mulai menulis di koran dan secara meyakinkan mewartakan identitas dirinya sebagai orang pesantren. Jadi, bisa dipastikan, awal mula kemunculannya, bukunlah dilartarbelakangi oleh isu kesastraan, melainkan oleh isu gagasan (tema, seting) dan personal (sastrawannya).

Wacana sastra pesantren semakin kuat manakala beberapa penerbit di Jogjakarta, termasuk di antaranya Navila, secara konsisten menerbitkan karya-karya sastra terjemahan dari Timur Tengah, yang barangkali, dianggap masih punya kekerabatan silsilah yang dekat dengan dunia pesantren (faktor bahasa Arab). Meskipun alasan ini terasa agak naif, namun nyatanya upaya Navila untuk itu tetap konsisten. Navila menerbitkan dan menerjemahkan karya-karya dari bahasa Arab, seperti karya-karya Musthafa Lutfi, Syekh Nizhami, dan banyak penulis Arab (terutama Mesir) lain. Cara ini ditempuh untuk membidik konsumen santri/pesantren. Tidak hanya menerbitkan karya-karya sastra Arab, Navila juga melakukan silaturrahmi ke pesantren-pesantren. Penerbit ini bahkan juga memprakarsai lahirnya majalah “Fadilah” yang secara tegas mengusung slogan “majalah sastra pesantren”. Tetapi, sayang, “Fadilah” akhirnya gulung tikar sebelum mencapai usia selusin edisi.

Sebelumnya, LKiS pernah memprakasai terbitnya majalah “Kinanah”, sebuah majalah hasil kerjasama lembaga kajian dan penerbit itu dengan para pelajar/mahasiswa Indonesia Mesir, yang kala itu—kalau tak salah—diawaki, di antaranya oleh Aguk Irawan dan Habiburrahman. “Kinanah” diproyeksikan sebagai media sastra bagi santri, khususnya bagi mereka yang ingin menuangkan gagasan di bidang karya sastra, dan juga sebagai media silaturrahim para pelajar Indonesia dengan rekan-rekan mereka yang berada di Mesir. Majalah yang muncul di awal-awal tahun 2000-an ini, meskipun terbit kurang dari tiga kali, juga menjadi catatan penting sebagai titik mula munculnya wacana sastra pesantren.

Selepas itu, mungkin karena “Kinanah” dianggap mati suri, pada awal tahun 2003 Jadul Maula dan LKiS tetap berniat baik untuk menindaklajuti isu ini. Bertempat di pendopo LKiS Sorowajan, bersama Sholeh UG dari Navila, LKiS mengundang tokoh-tokoh kesusastraan yang diangap paling bertanggungjawab terhadap wacana ini. Kala itu, yang hadir antara lain adalah Acep Zamzam Noor, Zainal Arifin Toha, Aning Ayu Kusuma, Hamdi Salad, Ahmad Fikri, dll. Saat itu, dihelat sebuah acara peluncuran buku terbitan Gita Nagari yang diberi label “buku sastra pesantren”, sebuah buku bunga rampai yang dikatapengantari oleh Ahmad Tohari: Kopiah dan Kun Fayakun (2003).

Dalam kesempatan itu, Acep Zamzam Noor menyatakan kurang setuju dengan pelabelan “sastra pesantren” atau “sastra santri”. Sebab, pelabelan ini, menurutnya, akan menjadi beban yang berat bagi para penulis kalangan pesantren untuk selalu menggarap tema-tema tertentu, misalnya soal kehidupan pesantren atau tema-tema yang berbau dakwah. Bukan hanya beban, bahkan pelabelan ini bisa jadi menghambat kreativitas penulisnya itu sendiri. Menurutnya, ukuran sastra sebagai karya adalah kreativitas, tanpa harus mempedulikan siapa dan dari kalangan mana penulisnya, begitu juga tema yang diangkatnya (Acep Zamzam Noor: 2006).

Respon awal gagasan Navila ini sangat baik. Dengan niat baik hendak mengangkat martabat pesantren dalam wacana kesusastraan di tanah air, serta didasari oleh keinginan yang kuat untuk mengumpulkan dan mencari penulis-penulis berbakat dari pesantren, Navila mengirimkan “undangan untuk menulis” kepada sekitar 200 pesantren. Terbukti, responnya cukup positif. Sekitar 40 pesantren meresponnya dengan mengirimkan karya-karya para santrinya. Setelah melalui proses pilah-pilih, akhirnya 17 cerpen dikumpulkan dalam buku Kopiyah dan Kun Fayakun (Neneng Yanti, 2003).

Hampir bersamaan dengan usaha Navila, Diva Press, juga di Jogjakarta, melakukan hal yang serupa. Bedanya, Diva lebih meringkaskan ruang lingkup penulisnya. Penerbit Diva meminta beberapa santri, terutama di Madura (Annuqayah Guluk-Guluk dan Al-Amien Prenduan) dan akhrinya menerbitkan beberapa buku kumpulan cerita pendek. Di antaranya adalah Balada Seorang Virgie, Ayah, dan antologi Harapan yang Terkoyak. Ketiga kumpulan cerpen ini terbit pada bulan dan tahun yang sama; September 2002.

Setelah itu, hampir tiga tahunan lamanya, isu sastra pesantren seolah-olah sepi pembicaraan, kecuali hanya letupan-letupan kecil di koran saja. Baru pada akhir tahun 2005-an, muncullah nama Matapena (kelompok LKiS), sebuah penerbit yang memunculkan wacana sastra pesantren kembali dengan membubuhi embel-embel “pop”: sastra pop pesantren!

Tampaknya, kemunculan penerbit dan wacana ini diproyeksikan untuk mengimbangi dua arus besar gelombang produk-produk bacaan pop yang menyerbu wilayah pembaca remaja, tak terkecuali para remaja santri di pesantren. Fenomena buku best seller nasional sejak tahun 2003-an yang dipegang oleh penulis-penulis pendatang baru seperti Esti yang menulis Fairish dan Dyan dengan Dealova ataupun Nothing But Love yang ditulis Laire inilah yang menjadi pemantik utamanya. Salah satu pemainnya, yaitu Gramedia, pada tahun itu langsung merajai pasar buku fiksi remaja di Indonesia (M. Faizi: 2005). Tanpa harus perlu mendebatkan soal kualitas, setidaknya, secara finansial, ketiga nama di atas menjadi tambang emas bagi penulis dan penerbit. Secara “ideologis”, tema, seting, bahkan semuanya, karya-karya sejenis ini jauh berbeda dengan dunia kesantrian. Itulah karya “fiksi populer”, tanpa imbuhan kata lagi di belakangnya, begitulah jenis ini dikenal. Di samping Gramedia, pabrik fiksi untuk jenis ini antara lain adalah Gagas Media, Kata Kita, Diva, Galang, dsb.

Sementara Gramedia dan kelompok penerbit fiksi populer lainnya mengangkat tema kehidupan “remaja-metropolitan-sekolah/kampus” (“metropop”), di lajur sebelah ada kelompok DarMizan, Asy-Syamil, dkk. Mereka membawa semangat “islami”, tetapi latar karya produk pada umumnya menampilkan fenomena “remaja-kota-kampus”. Fiksi populer islami, fiksi islami, atau “fikri” (fiksi remaja islami): demikian istilahnya (ada tambahan kata “islami”-nya). Gayanya membidik segmen remaja dan secara kental bercorak unsur keislaman, serta mengemban “misi dakwah”. Produk-produk model inilah yang mula-mula melabelkan gelar “islami” untuk terbitannya: cerpen islami, novel islami, dll.

Untuk itu, Matapena seolah-olah hendak menempuh jalur “santri-Islam-pesantren/desa” demi mendekatakan “jagad bacaan” dengan “realitas pembaca”. Produk mereka itulah yang kemudian disebut “sastra pop pesantren”. Terbit pertama kali dengan novel “Santri Semelekete” karya Ma’rifatun Baroroh, Matapena menuai sukses. “Genre” ini sukses mendapat hati di pembaca santri pada khususnya yang selama ini hanya mendapat suguhan chicklit/teenlit dan novel-novel berbendera “islami” itu. Selanjutnya, Matapena menerbitkan karya-karya yang lain, di antaranya “Bola-Bola Santri” (Shachree M Daroini), “Kidung Cinta Puisi Pegon” (Pijer Sri Laswiji), dan seterusnya.

PERDEBATAN SASTRA PESANTREN

Kini, semakin jauh pembahasan, yang kita dapatkan justru definisi yang semakin mengabur. Ketika disandingkan dengan kata “sastra” ataupun frase “sastra pop”, kata “pesantren” semakin tampak hanya sebagai institusi semata: pesantren sebagai sebuah latar/seting, sedangkan aktivitas kelembagaannya sebagai tema.

Nah, untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang apa sesungguhnya sastra pesantren itu, maka kita harus mempersoalkannya (seperti diisyaratkan oleh Faruk HT, seorang kritukus sastra Indonesia kontemporer) melalui beberapa pertanyaan: apakah definisi “pesantren” dalam konteks pembicaraan “sastra pesantren” itu memang sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dialami oleh “orang pesantren”? Pesantren: apakah pesantren yang dimaksud suatu tempat, suatu ideologi, suatu tipe doktrin, atau kesatuan sosial, komunal, dan kultural? Apakah seseorang yang mengekspos kehidupan homoseks di pesantren dan ditulis dalam sebuah karya (novel/cerpen) dapat disebut sebagai sastra pesantren? Bisa saja. Tapi, apakah pemahaman sejenis ini dapat disetujui oleh civitas pesantren?

Lazim diketahui, term sastra pesantren didefinisikan sebagai produk/karya sastra yang bertema keislaman, kesantrian, dan kepesantrenan; atau diidentifikasi sebagai karya sastra yang berurusan dengan nilai keislaman; atau karya sastra para pengarang yang punya pengalaman kehidupan pesantren, karya pengarang berbahasa Indonesia yang bermuatan tema keislaman, kesantrian, atau kepesantrenan; atau pula pengarang yang punya hubungan sejarah atau silsilah dengan pesantren. Dalam pandangan Ridwan Munawwar (Ridwan Munawwar, 2007), kategori di atas tampaknya menghendaki tema/wilayah pembahasan sastra pesantren ke arah tema-tema nilai esoterik keagamaan; cinta illahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos).

Meskipun demikian istilah “sastra pesantren” lazim didefinisikan, tampaknya ada pula yang melebarkan pengertiannya, seperti pendapat salah seorang dosen di UIN Jojga, Damami. Ia justru mengacukan wacana sastra pesantren kepada kitab-kitab klasik produk kiai/santri di pesantren, dengan menyebut contoh Siraj at-Talibin-nya Kiai Ihsan dan kitab Al-Miftah sebagai contoh dari produk sastra pesantren itu. Hal yang hampir senada juga dilansir oleh D. Zawawi Imron dalam kesempatan seminar di dalam rangkaian Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XIII 27-30 September 2004 di Surabaya. D. Zawawi Imron menjelaskan bahwa keberadaan sastra yang lahir dari lingkungan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari sastra Indonesia. Baginya, sastra pesantren itu telah hadir sejak masuknya Islam di Indonesia sekitar abad ke-12 sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dari sastra Indonesia.

Pernyataan ini mengindikasikan bahwa kategori penyebutan sastra pesantren selalu dititikberatkan pada unsur personal, pada pengaranganya, bukan pada latar dan temanya. Akan tetapi, ketika ia menyebut beberapa nama (Djamil Suherman, Syu’bah Asa, Fudoli Zaini , Emha Ainun Nadjib, KH Mustofa Bisri, Jamal D Rahman, Acep Zamzam Noor, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Abidah El-Khalieqy, Mathori A Elwa, Hamdi Salad, Nasruddin Anshory, juga Kuswaidi Syafi’ie), mudah dipahami bahwa yang dimaksudkan D. Zawawi Imron dengan “sastra pesantren” adalah “sastrawan santri”, yakni sastrawan yang punya latar pesantren meskipun karya-karyanya tidak selalu bernuansa kesantrian dan kepersantrenan. Orientasinya bertumpu pada pengarang.

Bagi Ahmad Tohari, definisi sastra pesantren dititikberatkan pada gagasan yang dibawanya. Sastra pesantren adalah pengejawantahan “ma” dalam ayat lillahi ma fissamawati wa ma fil ardhi dan dikemas dengan kualitas sastra yang “horison”, yang lalu membinarkan kekuasaan Tuhan atas “ma” di langit dan bumi. Dengan begitu, Islam muncul sebagai nilai yang universal, melampaui simbol dan nilai-nilai normatif. Sastra pesantren harus membawa misi “pembebasan”. Intinya, Tohari sepakat bawah setiap produk yang membawa pesan pencerahan, maka itulah sastra pesantren; tak peduli dari latar belakang apa (agama/budaya/bangsa) karya itu lahir.

Pernyaatan tersebut selaras dengan statemen Jamal D. Rahman yang dapat dijadikan garis bawah, bahwa salah satu ciri “kepesantrenan”, termasuk pula dalam sastra, adalah “unsur perlawanan”. Misalnya, perlawanan kaum santri pada kolonial yang nota bene non-muslim. Salah satu contohnya adalah: jika dulu kolonial menggunakan celana, maka santri menggunakan sarung. Semangat ini tentu dapat diterjemahkan oleh para sastrawan ke dalam karya sastra dengan baik.

Gambaran umum yang tampaknya cukup baik hadir sebagai jawaban bagi perdebatan sastra pesantren adalah pendapat Zainal Arifin Toha. Menurutnya, sastra pesantren adalah karya sastra yang ditulis, baik oleh orang pesantren maupun luar pesantren, yang mengangkat pandangan-dunia pesantren, baik terhadap dunia pesantren itu sendiri, maupun dunia luar pesantren (Aba Ahmad Mujtaba: 2003). Pernyataan ini menyempit pada persoalan sastra dan urusan kepesantrenan. Artinya, bagaimana pun, membicarakan sastra jika itu dikaitkan dengan pesantren, haruslah tetap memegang kata kunci “pesantren”: pandangan-dunia pesantren.

Walaupun definisi sastra pesantren sudah cukup banyak didedah, pada awal-awal munculnya wacana ini di media massa, pengertian sastra pesantren cukup membingungkan banyak orang, bahkan termasuk para sastrawan senior dan pakar sastra. Di antara mereka adalah Taufik Ismail yang kaget karena tiba-tiba ada istilah baru bernama “sastra pesantren”; Suminto A. Sayuti yang enggan memeberikan definisi, hingga Radhar Panca Dahana yang beranggapan bahwa penamaan “sastra pesantren” bersifat problematis dan sengaja dibuat-buat untuk sekedar membedakan diri dari yang lain, mencoba-coba membentuk karakter sendiri. Menurut Binhad Nurrohmat, definisi sastra pesantren itu tetap rancu dan problematik. Sebab, apa yang dimaksud dengan karya/genre sastra pesantren selama ini tidak jauh berbeda dengan karya sastra lain pada umumnya kecuali hanya pada persoalan tema. Padahal, tema bukanlah ukuran pembentuk genre sastra. Menurutnya, identifikasi pada apa yang disebut sebagai sastra pesantren itu sebatas berurusan dengan aktualisasi tema atau latar belakang pengarangnya yang berhubungan dengan keislaman, kesantrian, dan kepesantrenan; dan bukan berdasarkan unsur-unsur atau kecenderungan “bentuk” kesusastraan yang khas dimiliki oleh apa yang disebut sebagai sastra pesantren itu (Binhad Nurrohmat, 2007).

Dari sekian pendapat di atas, cukup jelas untuk membuat asumsi awal, bahwa wacana sastra pesantren belum punya definisi yang meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan dalam teori kesusastraan, tetapi telah kuat mengakar dalam “gosip” kesusastraan di tanah air. Lebih-lebih, masih ada kejanggalan dalam setiap pembicaraan sastra pesantren: pembicaraan sastra pesantren cenderung hanya mengacu kepada produk fiksi/prosa, dan sangat sedikit yang mengaitkannya dengan produk puisi. Kalaupun ada, maka sastra pesantren genre puisi yang dimaksud pastilah merupakan nadhaman (yang notabene berbahasa Arab) kitab-kitab ajian di pesantren. Padahal, jika ditilik dari sejarahnya, sebagaimana dilukiskan dalam paragraf-paragraf di muka, cikal-bakal tradisi sastra di pesantren justru diawali dari wacana sastra genre puisi.

Sampai di sini, kita dapat membuat kesimpulan sementara atas dua gagasan penting tentang sastra pesantren. Pertama, sesuai dengan “gosip” yang berkembang di dalam media, yang dimaksud sastra pesantren adalah karya santri yang lahir dan atau berkreativitas di pesantren dan atau yang kini tengah mekar di luar pesantren; kedua, gagasan yang khas pesantren, sejenis nubuwah yang harus disampaiakan kepada khalayak ramai; wa bil-khusus, mengemban gagasan dan cara pandang kepesantrenan.

Atas dasar pernyataan di atas, semakin sulit bagi kita untuk membedakan sastra pesantren dengan “sastra profetik” seperti yang telah digagas oleh Kuntowijoyo di awal tahun 90-an itu. Lebih jauh lagi, kita dapat mengajukan pertanyaan: apa yang dapat diistimewakan sastra pesantren daripada “sastra Islam” atau “sastra islami” jika kategori tema yang diusungnya relatif sama? Tentunya, pembahasan ini harus ditarik lebih jauh lagi pada persoalan sastra Islam.

Polemik dan perdebatan tentang sastra dan kesenian Islam sejatinya telah lama digulirakan. Di antara forum yang sempat menggulirkannya secara serius adalah Festival Istiqlal pada tahun 1990-an dulu. Majelis seni/sastra—tentunya dengan embel-embel “Islam”—pun ramai dibicarakan, didebat, ditanggapi, seperti biasanya: lama-kelamaan menjadi sepi, hilang dengan sendirinya.

Memang, sulit rasanya melekatkan institusi (agama) pada kegiatan sastra sebagai sebuah genre, seperti Sastra Islam, Sastra Hindu, Sastra Kristen, dan seterusnya. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena kagiatan bersastra atau produk sastra itu sendiri lebih berkait-erat dengan “unsur dalaman”, yakni nilai (keislaman/keagamaan). Penggunaan istilah nisbah, seperti Sastra Islami (dan bukan “Sastra Islam”), agaknya lebih mudah dipahami. Kalaupun ia tetap akan digunakan, istilah tersebut akan beralih-fungsi sebagai nama bagi era lahirnya karya (periodisasi). Misalnya; Sastra Jahiliyah, Sastra Abbasiyah, Sastra Klasik, Sastra Angkatan ’45, dan seterusnya. Ini menjadi galib dan lazim karena penggunaan istilah sastra dan label yang mengikutinya itu berhubungan dengan masa dan produk sastra yang dihasilkannya.

CATATAN AKHIR

Berdasarkan pernyataan-pernyataan dan gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan isu/wacana sastra pesantren yang selama ini diperdebatkan adalah “sastra pesantren” sebagai sebuah produk karya sastra saja atau juga sebagai genre, atau subgenre. Perkembangan perdebatan itu mencakup tiga orientasi.

Yang pertama adalah orientasi yang didasarkan pada “siapa”, yakni pada sastrawan (penulisnya): berdasarkan kategori ini, yang disebut karya sastra pesantren adalah karya yang ditulis oleh santri/kiai/civitas pesantren, dan atau juga yang punya silsilah sosial/intelektual dengan pesantren. Contoh untuk ini maka kita dapat menyebut nama Ahmad Tohari dan Jamal D. Rahman, meskipun karya-karya mereka tidak menyebut dan bernuansa pesantren secara langsung). Tampaknya, kategori ini lebih pas jika dikelompokkan dengan sebutan “sastrawan santri”, yaitu civitas pesantren (santri/alumni) yang menulis karya sastra. Bahkan, jika kita kembangkan bahwa penulis sastra pesantren yang penting adalah civitas pesantren (santri/alumni), maka tentu novel Mairil (Syarifuddin) dan Kuda Ranjang (Binhad Nurrohmat) yang nota bene dirisihkan oleh orang-orang pesantren karena mengekspos ketabuan seks akan dikategorikan ke dalam peristilahan sastra pesantren.

Orientasi yang lain adalah berdasarkan tema/seting, yakni sastra pesantren yang diasumsikan berdasarkan seting/latar cerita dan tema. Nah, barangkali, untuk mengambil contoh kategori ini akan sangat banyak. Novel “Geni Jora” karya Abidah el-Khalieqy dan “Hubbu” karya Mashuri (keduanya sama-sama memenangkan lomba penulisan novel/roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun yang berbeda) adalah salah satu contohnya, mengingat seting cerita yang diangkat adalah seting pesantren. Lebih-lebih, jika kita berikan contoh novel-novel pop remaja Matapena yang memang secara khusus mengangkat tema dan latar pesantren, seperti Bola-Bola Santri (Sachree M. Daroini) dan Jerawat Santri (Isma Kazee), dan seterusnya, maka ini juga masuk dalam contoh.

Orientasi yang ketiga: apabila sastra pesantren harus dikelompokkan berdasarkan genrenya—dengan tetap bertahan pada definisi genre dalam pandangan sarjana-sarjana sastra—maka yang dimaksud sastra pesantren adalah nadhaman, syi’iran, yang nota bene berbahasa Arab dan bahasa daerah (Jawa, Sunda, Madura), dan bukan berbahasa Indonesia. Sebab, hanya genre syi’ir ini yang dapat kita kelompkkan pada genre, yakni jenis produk karya sastra (seperti puisi dan prosa), dan temanya jelas-jelas mengangkat masalah-masalah (ilmu-ilmu) keagamaan dan bahasa (nahwu-sharraf).

Kalau definisi sastra pesantren ditarik lebih keluar, misalnya dengan menyitir pernyatan bahwa karya sastra pesantren adalah setiap karya yang menyiratkan nuansa sufistik, risalah keagamaan, dan seterusnya, tentu kita tidak boleh keberatan untuk memasukkan karya-karya Abdul Hadi WM di dalamnya, meksipun dia sendiri bukanlah civitas pesantren. Bahkan, secara lebih ekstrem, kita juga harus merelakan karya-karya Romo Mangunwijaya, Rabindranath Tagore, hingga Khalil Gibran, sebagai karya yang berlabel “sastra pesantren” meskipun mereka sendiri adalah non-muslim. Itu artinya, sastra pesantren tak jauh adalah berbeda dengan sastra profetik.

Definisi sastra pesantren yang berkembang di media pada saat ini tentu bukan sekadar karya-karya santri yang ada/berproses kreatif di pesantren. Kelengkapan definisi ini adalah: lebih-lebih jika hasil karya tulis mereka menyiratkan spirit religiusitas yang “khas” santri dan sudut pandang nilai-nilai kepesantrenan. Lebih gamblang, sastra pesantren adalah karya sastra santri yang bertema hal-ihwal kesantrian dan kepesantrenan dengan membawa semangat kesantrian (religiusitas), baik secara langsung maupun tidak.

Oleh karena itu, membuat kategori (definisi dan pelabelan) untuk produk-produk karya sastra yang ditulis oleh sastrawan santri, sastrawan muslim, atau kiai, dengan memberi nama “sastra pesantren” adalah sah-sah saja sebatas itu sekadar untuk kepentingan “pemberian nama” untuk ditandai, bukan untuk dijadikan sebagai eksklusivitas sebagai proklamasi atas munculnya sebuah genre. Karena sesungguhnya, kita belum menemukan secara pasti apakah produk yang kita sebut dengan sastra pesantren itu, apakah itu nadham/puisi/syi’ir ataupun prosa (novel/cerpen) dalam bentuk kekhasan sebagai sebuah produk, dan seterusnya.

PENUTUP

Nama pesantren begitu besar dan punya pengaruh yang kuat dalam akar sejarah dan tradisi bangsa Indonesia. Karena itu, pesantren dan segala yang berhubungan dengan pesantren pasti “layak dijual”. Salah satu trik dagangnya adalah dengan cara diberi nama. Kita tidak benar-benar tahu, apa yang sesungguhnya terjadi di luar kita. Barangkali, penamaan dan kategorisasi sastra pesantren hanya kebutuhan media untuk memudahkan “pemberian nama” itu. Atau juga—tapi ini prasangka buruk—karena faktor “politik sastra” dan “politik kapitalisme” sehingga kita mudah dipermainkan setelah “diberi nama” (semoga saja tidak). Kita mengakui nama itu karena hegemoni media, dan kaum civitas pesantren tidak dapat berbuat apa-apa lagi dengan yang dibuatnya, kecuali harus menyetujui terhadap si pemberi nama.

Atau, pemberian nama itu hanya sekadar untuk memudahkan pengelompokan, yang entah itu untuk kepentignan penelitian ilmiah atau untuk kepentingan-kepentingan “politik” lainnya?

Setiap orang berhak memberi nama, membuat kategori. Setiap kategori bisa didasarkan atas definisi yang beragam. Terbukti, kata pesantren dalam sastra pesantren saja masih ambivalen; apakah sebagai lembaga pendidikan, sebagai ideologi, ataukah sebagai sebuah sistem tanda kebudayaan? Ini mengingatkan kita pada genre musik, yang nota bene lebih mudah dikategorikan genrenya. Sebab, musik punya banyak instrumen penilaian untuk itu; tempo, alat yang dipakai, ketukan, ritme, serta unsur-unsur yang lain. Terbukti, kategorisasi genre yang dilekatkan media/pengamat musik tidak serta-merta disetujui oleh kelompok musik yang diberi nama.

Saat melangsungkan tur dunia untuk promo “black cover album” pada tahun 1993 lalu, Metallica disebut-sebut sebagai grup musik beraliran “thrash metal” oleh pers Indonesia. Namun, James Hetfield tidak terima ketika mengatahui hal itu dan ia ngotot untuk tetap menyebut musiknya sebagai “heavy metal”; Konon, Rhoma Irama yang menjadi ikon dangdut di tanah air tiba-tiba dinobatkan sebagai gitaris rock terbaik dalam subuah survei pers di luar negeri karena gaya musik/permainan yang lebih dekat pada Ritchie Balckmore (Deep Purple) daripada pada jenis musik dangdut sendiri; Khalil Gibran yang di Indonesia dianggap penyair dengan banyak sekali melahirkan puisi sebetulnya dia tidak pernah menulis puisi kecuali hanya satu, Al-Mawakib. Hal ini disebabkan karena puisi bagi orang Arab—kala itu—adalah nadham/syi’ir (yang harus ditentukan oleh ‘aruld, termasuk qafiyah dan bahar, sebagai disiplin ilmu yang baku untuk menulis puisi) dan tidak seperti puisi dalam pengertian benak orang Indonesia yang melihatnya dari sudut pandang teori sastra yang nota bene bukan dari Arab (Barat).

Itulah beberapa contoh kasus penamaan. Semua perdebatan dan anggapan itu tidak sekadar karena dasar pertimbagan tema saja, melainkan disebabkan oleh sesuatu yang jauh lebih prinsip: genre. Tapi, begitulah penamaan! Dalam proses itu, reduksi akan selalu saja terjadi. Dan yang demikian itulah yang sedang menimpa kita: telah lama kita tahu, Mazhab Praha, Mazhab Yale, Mazhab Frankfurt, hingga Mazhab Rawamangun pun (bahkan, yang terakhir mungkin perlu juga disertakan: Mazhab DKJ) selalu punya orientasi dalam melihat sebuah karya sastra. Dan kita tetap menerimanya begitu saja setelah lebih dulu bergulat melalui pemahaman-ketakpahaman. Beda persepsi, perbedaan kategori, dan salah paham memang selalu diawali dari letak kita berdiri untuk melihat objek dalam sebuah sudut titik pandang.

Memberikan definisi sastra pesantren berdasarkan kategori sebagai jenis produk karya sastra (genre) yang telah kita lihat hingga saat ini, dari karya “Perjalanan ke Akhirat”-nya Djamil Suherman hingga “Ronggeng Dukuh Paruk”-nya Ahmad Tohari; dari “Tadarus”-nya Kiai Mustofa Bisri hingga novel-novel sastra pop pesantren yang diterbitkan oleh Matapena itu, belumlah memuaskan. Akan tetapi, jika hanya berdasarkan kategori wacana sastra, dan jika memang itu yang dimaksudkan, maka tentu demikianlah adanya sastra pesantren itu.

Atau, mungkin kita tetap masih harus menuggu sampai suatu saat ada sebuah karya yang benar-benar memiliki trade mark atau karakteristik kepesantrenan dalam arti sesempit-semptinya, sekhusus-khususnya, dan karya itu belum pernah ditulis oleh orang lain sebelumnya. Artinya, karya itu menjadi sebuah “genre” yang “direstui” oleh teori sastra sekaligus menjadi isu yang disepakati sebagai wacana sastra. Sehingga, “alamat kelahiran” yang pertama kali muncul itu, akan menjadi satu-satunya mercu suar yang dapat diliahat oleh semua orang yang ada di bawahnya. Kemudian, orang-orang itu akan merasa yakin, itulah “sastra pesantren”. Pada akhrinya, ia akan menjadi acuan, menjadi referensi, menjadi pakem: sehingga untuk disebut sebagai “sastra pesantren”, sebuah karya haruslah punya karakteristik seperti mercu suar itu.

Jika tidak ada orang yang mau segera berbuat untuk itu, maka pilihannya adalah menunggu. Padahal, semua orang tahu: menunggu adalah pekerjaan yang benar-benar membosankan.

Wallahu a’lam.

SUMBER BACAAN

Goody, Jack, 1987. The Inteface Between the Written and the Oral, Cambridge University Press

Sweeney, Amin, 1987. A Full Hearing, University of California Press

Yanti, KH., Neneng. 2002. Perdebatan di Seputar Isu Sastra Pesantren. Makalah

El-Muttaqien, M. Zamiel. Akar Tradisi Sastra Pesantren. Kompas Jatim 11/06/2005

Aba Ahmad Mujtaba, Sastra Pesantren: Harapan Kenyataan dan Tantangan, Majalah Fadilah edisi VII Desemebr 2003

Faizi, M. 2007. Pesantren Ikon Pendidikan Nonformal. Majalah Basis Juli-Agustus 2007.

_____________. Chicklit dan Minat Baca Remaja, Jawa Pos 29-05-2005

Mastuki HS, M.Ag, dan Ishom El-Saha, M.Ag, (ed.), 2003. Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka

‘Usman, Muhammad ‘Ali. 2007. Para Ilmuwan Muslim Paling Berpengaruh Terhadap Peradaban Dunia. Jogjakarta: Diva

Em Syuhada’, Secercah Sinar dari Lirboyo, Jawa Pos 20 Apr 2008

Kompas, Sastra Pesantren Bagian dari Sastra Indonesia, edisi 29 September 2004

Sumber URL:

Nurrohmat, Binhad. Gincu Merah Sastra Pesantren. Suara Karya Online; 24/03/07. URL= http://www.suarakarya-online.com/news.html. diakses pada tanggal 05/05/08

Munawwar, Ridwan. Ledakan Sastra Pesantren Mutakhir: Cinta, Kritisisme, dan Industri. Suara Karya Online; 03/03/07. URL= www.suarakarya-online.com/news.html?id=167741; diakses pada tanggal 05/05/08

Http://www.indomedia.com/bernas/2009/14/UTAMA/14hib1.htm: Sastra Pesantren Saatnya “Membuka Diri”

Acep Zamzam Noor. Pesantren, Sastra, dan Pilkada. 25 Januari 2006.

URL=http://www.rumahdunia.net/wmview.php?ArtID=573&page=2: diakses pada 05/05/2008.

http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=4373: Tinggal Bagaimana Sastra Pesantren Memberi Kekhasan Sikap. Sabtu, 18 Februari 2006 12:15: diakses pada 05/05/2008.

http://www.masjidistiqlal.com/index.php?modul=text&page=detail&textID=2919; Dalam Sejarahnya Budaya Pesantren Bersebrangan dengan Perkotaan; Rabu, 16 safar 1428 H / 6 maret 2007; diakses pada 05/05/2008


[artikel ini telah dimuat di Jurnal Anil ISLAM, edisi ke-1, Juni 2008]